Salmah, Ketua Kompetensi Keahlian Kriya Tekstil SMKN 5 Mataram, menyebutkan, ada 300 motif yang diproduksi.
Pengembangan desain menjadi tanggung jawab guru. Namun, para siswa dirangsang untuk mengembangkan motif batik yang menarik masyarakat.
Wiwi Endang Sridwiyatmi, Wakil Kepala SMKN 5 Mataram Bidang Kurikulum, mengatakan, dalam mengembangkan produksi batik Sasambo, sekolah tidak melupakan pembelajaran bagi siswa. Sekolah melibatkan siswa untuk mengasah jiwa kewirausahaannya.
Pendapatan dari bisnis batik Sasambo lebih dari Rp 200 juta per tahun digunakan untuk tambahan anggaran pendapatan dan belanja sekolah. Dengan suntikan dana itu, sekolah membantu 62 persen siswa tidak mampu. ”Dana rutin dari pemerintah daerah hanya sekitar Rp 95 juta per tahun. Biaya operasional sekolah, termasuk membeli bahan praktik, membayar guru honor, dan pengeluaran lain, lebih dari itu. Pendapatan dari batik Sasambo sangat membantu,” ujar Tri.
Peningkatan permintaan batik Sasambo membuat sekolah kewalahan. Sekolah tidak bisa hanya mengandalkan siswa.
Sekolah mempekerjakan 26 alumnus yang dinilai memenuhi syarat. Mereka bekerja di bengkel tekstil enam hari per minggu. Jika Minggu diminta masuk, dihitung lembur. Para alumnus diperlakukan sebagai pekerja profesional dengan gaji dari ratusan ribu rupiah hingga Rp 2 juta per bulan.
”Dengan menggandeng alumni, kami tidak perlu lama melatih. Mereka memproduksi batik secara rutin supaya ada stok batik di galeri,” kata Salmah.
Bagi alumni, lapangan kerja di sekolah membuat mereka lega. ”Senang, begitu lulus bisa kerja meski kerjanya di sekolah. Ini menambah pengalaman kerja. Saya berharap pesanan meningkat supaya kami bisa terus bekerja,” ujar Yuliana (19), alumnus tahun 2012.
Selain mempekerjakan