Namun, negara yang mirip Yunani masih ada, dengan skala lebih besar, yakni Spanyol (utang 640 miliar euro), bahkan Italia (utang 1,8 triliun euro). Pertanyaannya, apakah kedua negara yang skala perekonomiannya besar ini juga harus ditalangi? Apakah Jerman dan Perancis masih kuat menalangi? Tak ada jaminan.
Sementara itu, di AS sebenarnya telah mulai terjadi perbaikan ekonomi. Pengangguran dapat dipangkas dari level tertinggi 10 persen (2009-2010) menjadi 8,2 persen (2012). Pertumbuhan ekonomi dapat dijaga mendekati 2 persen, sedangkan inflasi cuma 1,2 persen. Kondisi ini menyebabkan AS berani melakukan kebijakan quantitative easing (QE), yakni mencetak uang baru untuk dibelikan obligasi Pemerintah AS (t-bills dan t-bonds). Sebelumnya, pada periode 2008-2010, telah dilakukan QE1 1,5 triliun dollar AS, yang disusul QE2 sebesar 600 miliar dollar AS, sehingga totalnya 2,1 triliun dollar AS.
Semula banyak pihak berharap agar QE3 dilakukan tahun ini dengan jumlah yang cukup signifikan sehingga akan menyebabkan kurs dollar AS melorot. Jika itu terjadi, sebaliknya rupiah akan mengalami apresiasi. Kurs rupiah yang mencapai Rp 9.600 per dollar AS bisa terdongkrak menguat, misalnya ke level Rp 9.300 per dollar AS. Namun, tampaknya AS tak ingin gegabah memberlakukan QE3. Mereka cenderung bersikap konservatif dalam kebijakan QE3. Jumlah uang beredar baru yang dicetak setiap bulan ditetapkan 40 miliar dollar AS sehingga dalam setahun kurang dari setengah triliun dollar AS.
Kebijakan yang berhati-hati ini sempat memberi euforia pasar modal dan pasar valuta asing, tetapi hanya sesaat. Rupiah memang menguat, tetapi hanya sampai Rp 9.500 per dollar AS. Namun, setidaknya ini membuat BI agak sedikit lebih ”rileks” dalam membelanjakan cadangan devisa. Posisi cadangan devisa BI hingga akhir Agustus 2012 adalah 109 miliar dollar AS. Di tengah tekanan berat defisit transaksi berjalan, bertambahnya cadangan devisa dari semula 106 miliar dollar AS adalah menggembirakan. Setidaknya, meski perdagangan dan transaksi berjalan tertekan defisit, masih dapat dikompensasi masuknya modal asing, baik langsung maupun portofolio.
Fenomena ini logis, karena bagaimanapun juga, pada saat emerging markets paling top mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi—China merosot dari 9,5 persen (2011) menjadi 7,6 persen (2012) dan India dari 8,5 persen menjadi 5,3 persen—Indonesia tetap membukukan perlambatan paling kecil, dari 6,5 persen (2011) menjadi 6,3 persen (2012).
Meski begitu, ada dua hal yang membuat kita prihatin. Pertama, ternyata pemerintah gagal mengendalikan konsumsi BBM sehingga harus impor lebih banyak. Ini tak boleh dibiarkan. Kenaikan harga BBM dan tarif listrik menjadi sebuah keharusan. Apalagi selama ini telah terjadi misalokasi subsidi energi. Berdasarkan data PLN (2012), bandara dan pusat perbelanjaan mewah (mal) di Jakarta masih menerima subsidi. Ini tak masuk akal dan tak boleh diteruskan.
Kedua, ketergantungan impor barang modal harus dikurangi. Ada yang belum tepat dalam sektor manufaktur kita. Mestinya hanya mesin-mesin yang canggih yang perlu diimpor, sedangkan mesin-mesin untuk industri sederhana (light industry) seyogianya bisa kita penuhi sendiri. Inilah pelajaran terpenting dalam krisis kali ini yang tak sempat disadari sepenuhnya pada krisis-krisis sebelumnya.