PURWAKARTA, KOMPAS
”Permintaan mulai menurun sejak akhir September lalu. Biasanya setiap awal bulan permintaan naik lagi. Namun, hingga sekarang masih lesu,” papar Darwis, Ketua Himpunan Petani Karamba Jaring Apung Jatiluhur, Selasa (16/10), di Purwakarta.
Darwis menyebutkan, rata-rata penjualan ikan mas kini mencapai 30 ton per hari, berkurang sekitar 40 persen dari biasanya. Penurunan permintaan itu diduga terkait dengan menurunnya daya beli masyarakat.
Penjualan ikan mas dan nila menggeliat setiap kali petani padi menuai panen. Menurut Darwis, tertundanya panen padi akibat sawah mengering di beberapa daerah ikut mendorong lesunya permintaan ikan dari Jatiluhur.
Kondisi ini menimbulkan dilema bagi pembudidaya ikan. Musim kemarau adalah saat yang tepat untuk menebar benih. Suhu air waduk sekitar 30 derajat celsius bagus bagi pertumbuhan ikan. Pada musim hujan, debit air bersuhu dingin dari sungai mengurangi kehangatan air waduk. Suhu air yang hangat, kata Darwis, diperlukan untuk menjaga ketahanan ikan dari serangan virus KHV (koi herpesvirus).
Pembudidaya dihadapkan pada masalah daya tampung petak jaring apungnya pula. Suherman, pembudidaya, mengatakan, ikan yang tidak terjual tetap bisa dipelihara di jaring apung, dengan harga jual yang tidak berubah, Rp 14.000/kilogram. Namun, mereka tidak bisa menebar benih ikan yang baru.
Kepala Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Purwakarta Heri Herawan mengakui, penurunan permintaan ikan akibat menurunnya daya beli masyarakat. Pasar ikan mas dari Jatiluhur di Jakarta, Lampung, dan Palembang mulai jenuh.
Sementara itu di Pontianak, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kalimantan Barat Gatot Rudiyono menuturkan, tahun ini provinsi itu diperkirakan masih mengalami defisit pemenuhan permintaan ikan, baik dari budidaya maupun perikanan tangkap.