Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pemerintah Batasi Utang Luar Negeri

Kompas.com - 02/11/2012, 10:56 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Sekretaris kabinet Dipo Alam menerbitkan surat yang ditujukan kepada seluruh menteri di kabinet untuk membatasi pengajuan utang luar negeri untuk pembangunan yang membebani APBN dan APBD.

Dipo mengatakan, surat edaran itu tidak hanya untuk para menteri tetapi juga kepada seluruh kepala daerah dan pimpinan lembaga pemerintah non kementerian.

"Jadi tidak betul kalau dikatakan pemerintahan SBY ini neolib dan semuanya masih tergantung pada pinjaman luar negeri," kata Dipo Alam di kantornya, Kamis (1/11/2012).

"Utang sekarang ini pun terus kami kurangi kalau proporsi utang sekarang sudah pasti berkurang terus, nominalnya memang masih terlihat besar tapi ini tujuan presiden adalah mengajak jangan sampai utang luar negeri ini dalam pembiayaan pembangunan kita berjalan tanpa suatu pengawasan," tambahanya.

Dalam penjelasannya, Dipo mengatakan, pembatasan utang luar negeri termasuk hibah yang mengikat dengan commitment fee, serta dana pendampingan rupiah murni yang bisa membebani APBN/APBD.

Data dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menunjukkan, posisi utang pemerintah hingga September 2012 mencapai Rp 1.975,62 triliun. Dari angka itu, posisi utang luar negeri Indonesia saat ini adalah Rp 638,01 triliun atau sekitar 32,3 persen dari total utang yang ada saat ini.

Pemerintah mengatakan dalam beberapa kesempatan bahwa posisi utang luar negeri Indonesia masih aman. Pada April lalu Lembaga Pemeringkat Internasional Standard and Poor's (S&P) menahan peringkat utang Indonesia pada level ''BB+'' untuk utang jangka panjang dan ''B'' untuk jangka pendek dengan outlook positif.

Masih bergantung utang

Namun Lembaga itu mengatakan, ada sejumlah penghambat dalam perekonomian Indonesia diantaranya pendapatan per kapita yang rendah, utang luar negeri sektor swasta yang masih tinggi, dan pasar keuangan domestik yang dangkal.

Pengamat ekonomi dari Indef, Enny Sri Hartati mengatakan posisi dan kondisi utang Indonesia tidak bisa dibilang aman jika pemanfaatannya tidak tepat. "Kalau kita berbicara utang indikatornya tidak hanya sekadar apakah kita masih dalam rasio aman atau tidak, artinya rasio utang bukan satu-satunya indikator apakah utang yang ada selama ini beresiko apa tidak," kata Enny kepada Wartawan BBC Indonesia, Andreas Nugroho.

Menurut Enny,  belajar dari krisis yang dialami oleh Amerika Serikat dan Eropa titik krusialnya adalah bagaimana pemanfaatan utang itu sendiri. Jika utang tidak dimanfaatkan untuk kegiatan-kegiatan yang produktif sehingga bisa refinancing kedepannya itulah yang bermasalah. "Utang Jepang itu tidak bermasalah karena utang mereka digunakan untuk kegiatan investasi," ujarnya.

Enny juga meragukan kesungguhan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhyono untuk melepas diri dari ketergantungan terhadap utang. "Kalau kita melihat defisit anggarannya semakin besar maka berarti kita bukan meninggalkan tapi justru kecanduan utang. Saya tidak melihat adanya langkah nyata untuk melepaskan ketergantungan dari utang," kata Enny.

Dalam catatan Enny pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono menurutnya hanya membatasi utang luar negeri tetapi tidak membatasi utang dalam negeri. "Utang dalam negeri itu juga utang dan menjadi beban karena bunganya kan kita bayar menggunakan APBN," ucapnya.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Usai Gempa Garut, Pertamina Pastikan SPBU hingga Pangkalan Elpiji di Jabar Aman

Usai Gempa Garut, Pertamina Pastikan SPBU hingga Pangkalan Elpiji di Jabar Aman

Whats New
Kemenkop-UKM Tegaskan Tidak Melarang Warung Madura Beroperasi 24 Jam

Kemenkop-UKM Tegaskan Tidak Melarang Warung Madura Beroperasi 24 Jam

Whats New
BTN Buka Lowongan Kerja untuk Lulusan D3 dan S1, Simak Kualifikasinya

BTN Buka Lowongan Kerja untuk Lulusan D3 dan S1, Simak Kualifikasinya

Work Smart
Ada Gempa Garut, Kereta Cepat Whoosh Tetap Beroperasi Normal

Ada Gempa Garut, Kereta Cepat Whoosh Tetap Beroperasi Normal

Whats New
Akhirnya, Bea Cukai Bebaskan Bea Masuk Alat Belajar SLB yang Tertahan Sejak 2022

Akhirnya, Bea Cukai Bebaskan Bea Masuk Alat Belajar SLB yang Tertahan Sejak 2022

Whats New
Sri Mulyani Minta Ditjen Bea Cukai Perbaiki Layanan Usai 3 Keluhan Terkait Pelayanan Viral di Medsos

Sri Mulyani Minta Ditjen Bea Cukai Perbaiki Layanan Usai 3 Keluhan Terkait Pelayanan Viral di Medsos

Whats New
Menuju Indonesia Emas 2045, Pelaku Usaha Butuh Solusi Manajemen SDM yang Terdigitalisasi

Menuju Indonesia Emas 2045, Pelaku Usaha Butuh Solusi Manajemen SDM yang Terdigitalisasi

Whats New
Jadi Sorotan, Ini 3 Keluhan Warganet soal Bea Cukai yang Viral Pekan Ini

Jadi Sorotan, Ini 3 Keluhan Warganet soal Bea Cukai yang Viral Pekan Ini

Whats New
Perhitungan Lengkap Versi Bea Cukai soal Tagihan Rp 31 Juta ke Pembeli Sepatu Seharga Rp 10 Juta

Perhitungan Lengkap Versi Bea Cukai soal Tagihan Rp 31 Juta ke Pembeli Sepatu Seharga Rp 10 Juta

Whats New
Berapa Gaji dan Tunjangan Pegawai Bea Cukai Kemenkeu?

Berapa Gaji dan Tunjangan Pegawai Bea Cukai Kemenkeu?

Work Smart
Dukung 'Green Building', Mitsubishi Electric Komitmen Tingkatkan TKDN Produknya

Dukung "Green Building", Mitsubishi Electric Komitmen Tingkatkan TKDN Produknya

Whats New
Kemenhub Cabut Status 17 Bandara Internasional, Ini Alasannya

Kemenhub Cabut Status 17 Bandara Internasional, Ini Alasannya

Whats New
Kinerja Pegawai Bea Cukai 'Dirujak' Netizen, Ini Respon Sri Mulyani

Kinerja Pegawai Bea Cukai "Dirujak" Netizen, Ini Respon Sri Mulyani

Whats New
Pembatasan Impor Barang Elektronik Dinilai Bisa Dorong Pemasok Buka Pabrik di RI

Pembatasan Impor Barang Elektronik Dinilai Bisa Dorong Pemasok Buka Pabrik di RI

Whats New
Sukuk Wakaf Ritel adalah Apa? Ini Pengertian dan Karakteristiknya

Sukuk Wakaf Ritel adalah Apa? Ini Pengertian dan Karakteristiknya

Work Smart
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com