”Untuk kasus Merapi, tidak cukup membuat peta bahaya. Kita perlu peta risiko dan kerawanan,” kata ahli kebencanaan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jan Sopaheluwakan, Minggu, di Jakarta.
Jan mengatakan, strategi dan program mitigasi serta tata ruang di lereng Merapi agar dibuat berdasarkan tingkat risiko. Daerah risiko tinggi harus ditinggalkan masyarakat. Daerah ini bisa digunakan untuk kepentingan kegiatan ekonomi terbatas dengan dilengkapi tempat pengungsian dan perlindungan yang aman.
Daerah rendah risiko bisa digunakan untuk kegiatan ekonomi lebih permanen. ”Tata ruang kita umumnya belum memperhitungkan bencana alam, perubahan iklim, dan potensi konflik sosial,” kata Jan.
Menurut dia, teknis kesiapsiagaan menjelang bencana Merapi relatif lebih mudah daripada tsunami. Namun, secara sosiokultural di Merapi lebih kompleks karena menyangkut sistem nilai masyarakat.