Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tak Ada Lagi Perdebatan soal Ekonomi Rokok

Kompas.com - 01/02/2013, 02:59 WIB

Masih perlukah perdebatan tentang manfaat dan mudaratnya rokok? Hampir pasti tidak. Ditinjau dari sisi apa pun, rokok lebih mendatangkan keburukan ketimbang kebaikan, bukan saja dari sisi kesehatan, melainkan juga dari sudut pandang ekonomi dan sosial. Alih-alih berdebat berkepanjangan, ada baiknya energi kita curahkan untuk melakukan semua upaya agar generasi Indonesia masa depan adalah generasi sehat dan kuat untuk memenangi kompetisi global yang semakin ketat. anton sanjoyo

adirnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan, meski terlambat dan masih banyak kekurangan, dinilai sebuah langkah maju. Di luar PP yang merupakan turunan dari Undang-Undang (UU) Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan itu, semua hitungan kesehatan, ekonomi, dan sosial tidak satu pun aspek yang mampu mendukung rokok di bumi Indonesia.

PP yang ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 24 Desember 2012 tersebut patut disambut gembira mengingat kecenderungan terus meningkatnya konsumsi rokok di Indonesia. Abdillah Ahsan, peneliti Lembaga Demografi FEUI, menuturkan, jelas sekali ada indikasi meningkatnya persentase orang merokok. Bahkan, persentase laki-laki merokok di Indonesia adalah yang tertinggi di dunia, yakni 67,4 persen.

Bagi Indonesia, kecenderungan ini tentu sinyal bahaya, siaga satu kesehatan nasional. Terkait dengan struktur produktif yang saat ini mendominasi struktur penduduk Indonesia, konsumsi rokok yang meningkat juga meroketkan dampak negatif. Abdillah memaparkan, dampak buruk itu antara lain alokasi uang yang dihabiskan untuk membeli rokok dan mengorbankan pengeluaran lainnya yang lebih penting, seperti untuk gizi dan pendidikan, meningkatnya risiko terkena penyakit yang akan mengurangi produktivitas kerja, meningkatkan biaya kesehatan, dan meningkatkan risiko mati muda.

”Kesemuanya akan berdampak pada melemahnya peran penduduk usia produktif. Bahkan, penduduk usia produktif ini malah bisa menjadi beban negara di mana seharusnya dia menjadi aset negara,” ujar Abdillah.

Indonesia juga terancam kehilangan bonus demografi jika kecenderungan meningkatkan konsumsi rokok dibiarkan. Bonus demografi adalah kondisi di mana rasio ketergantungan penduduk usia nonproduktif dengan usia produktif mencapai kondisi yang minimal. Menurut perhitungan, kondisi ini akan terjadi pada tahun 2020-2030.

Saat itu, rasio ketergantungan mencapai 44 persen sehingga memunculkan harapan meningkatnya kesejahteraan masyarakat karena uang yang sebelumnya habis untuk membesarkan anak- anak dan membiayai penduduk lansia akan bisa digunakan untuk menabung dan investasi. Namun, dengan konsumsi rokok yang tinggi, akan menyebabkan Indonesia bisa kehilangan momentum bonus demografi itu.

Petaka demografi

Abdillah menambahkan, panen penyakit akibat rokok diperkirakan 15 tahun setelah mengonsumsi rokok. Padahal, remaja perokok saat ini yang berusia 15-19 tahun adalah penghuni pasar kerja pada tahun 2020- 2030. Dengan demikian, sekitar 4 juta perokok remaja berusia 15-19 tahun dan sekitar 6 juta perokok dewasa awal (20-24 tahun) akan menyesaki pasar kerja pada tahun 2020-2030 dengan kondisi sakit-sakitan. Hal ini sangat menyedihkan karena bisa jadi bonus demografi justru akan menjadi petaka demografi.

Selain itu, beban negara akibat terus meningkatnya konsumsi rokok terbilang raksasa. Menurut penelitian Soewarta Kosen dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan, pada tahun 2010, kerugian makroekonomi total terkait konsumsi rokok mencapai Rp 245,4 triliun. Angka raksasa ini di antaranya akibat hilangnya waktu produktif karena sakit, disabilitas, dan biaya pembelian rokok Rp 138 triliun.

Sementara itu, penerimaan negara dari cukai rokok pada 2010 hanya Rp 56 triliun. Walhasil, kerugian makroekonomi terkait konsumsi rokok empat kali lipat dibandingkan dengan penerimaan negara dari cukai rokok.

Karena itu, ekonom Faisal Basri berpendapat, dengan begitu jelas gamblangnya kerugian bangsa Indonesia akibat rokok, sejatinya tidak ada lagi perdebatan mengenai manfaat dan mudaratnya produk adiktif ini. ”Jadi tidak ada lagi hitungan-hitungan untung atau ruginya rokok. Sudah sangat jelas merugikan. Rokok tidak boleh mendapatkan tempat dalam sistem ekonomi kita,” ujar Faisal.

Faisal mengingatkan, cukai merupakan instrumen untuk memengaruhi pola konsumsi masyarakat. ”Cukai tak boleh dipakai sebagai andalan penerimaan negara,” ujarnya.

Abdillah berpendapat senada. Menurut dia, kebijakan cukai rokok di Indonesia masih gagal menjalankan amanat konstitusi seperti yang tertera dalam UU No. 39/2007 di mana cukai dikenakan untuk mengendalikan konsumsi.

Sistem cukai rokok di Indonesia juga sangat rumit karena besaran tarif dikenakan berdasarkan jenis rokok, skala produksi, dan rentang harga jual.

Hal ini mengakibatkan fungsi cukai untuk pengendalian konsumsi menjadi kabur dan tidak bermakna. Akibat dari sistem cukai saat ini adalah rentang harga jual yang lebar antara rokok termurah (Rp 3.000 per bungkus) dan termahal (Rp 14.000) atau empat kali lipat lebih perbedaannya. Hal ini mengakibatkan hilangnya dampak kenaikan cukai rokok pada penurunan konsumsi karena perokok beralih ke rokok yang lebih murah.

Dijadikan musuh negara

Menurut Faisal, di seluruh dunia, di negara-negara paling liberal sekalipun, rokok sudah menjadi ”musuh” negara dan tak diberi tempat, apalagi tempat yang nyaman dalam sistem ekonomi. Meski begitu, negara tetap harus menaruh perhatian besar terhadap proses menuju Indonesia tanpa rokok. Ini untuk menghindari penurunan drastis pendapatan petani tembakau dan penerimaan negara. Harus dibuat peta jalan (road map) ke arah sana dan dilaksanakan secara tegas melalui mekanisme UU.

Terhadap petani tembakau, seperti banyak dilakukan di sejumlah negara, diajak dan disokong sekuatnya untuk pindah menanam tanaman lain yang punya nilai ekonomi lebih baik ketimbang tembakau.

”Petani pasti mau kalau hasilnya lebih baik. Banyak tanaman dengan nilai ekonomi lebih baik ketimbang tembakau. Ini harus disesuaikan dengan situasi setempat,” ujar Faisal.

Abdillah menambahkan, pada 2008, Lembaga Demografi FEUI pernah melakukan penelitian di tiga kabupaten, yakni Bojonegoro, Kendal, dan Lombok Timur, terhadap 450 buruh tani tembakau. Penelitian itu menemukan, sebagian besar petani, 65 persen, ingin berpindah ke perkebunan lain jika memberikan pendapatan yang lebih baik.

Ditemukan pula sejumlah tanaman memberikan keuntungan yang lebih ketimbang tembakau dan ini tentu saja disesuaikan dengan agroklimat setiap daerah sebab tanaman yang cocok di daerah tertentu belum tentu bisa tumbuh subur di daerah lainnya.

Untuk dataran rendah dan menengah (0-900 meter di atas permukaan laut/mdpl), tanaman bawang merah, melon, dan cabe merah lebih menguntungkan ketimbang tembakau. Adapun untuk dataran tinggi (lebih dari 900 mdpl), kentang dan cabe merah punya nilai jual lebih baik daripada tembakau.

Menurut Faisal, peta jalan Indonesia tanpa tanpa rokok harus berjalan simultan dan terprogram jelas langkah-langkah serta tahapan-tahapannya. Yang paling penting adalah dalam setiap langkah, semuanya harus diperhitungkan matang segala dampaknya. Misalnya menaikkan harga rokok lewat mekanisme cukai harus dihitung akurat agar tidak menimbulkan barang ilegal, artinya rokok tanpa cukai atau cukai bodong. Jika mekanisme menaikkan harga justru menimbulkan barang ilegal, konsumen dan negara akan lebih dirugikan. Sebab, rokok ilegal tidak bisa dikontrol kadar nikotin dan bahan kimia beracun lainnya yang menumpuk di dalamnya. Sementara keuangan negara juga bobol karena negara tidak mendapatkan sepeser pun.

Di luar semua upaya untuk mengurangi konsumsi rokok, Faisal berpendapat, cara edukasi merupakan jalan paling ampuh. Belanda sukses menggunakan cara ini dalam kasus mariyuana. Dengan edukasi yang gencar, yang diubah atau digeser adalah sisi permintaan sehingga kuantitas permintaan turun dan diikuti oleh penurunan harga. Jika menggunakan mekanisme cukai untuk menaikkan harga, kuantitas barang memang turun tetapi tidak sebesar penurunan dengan menggeser kurva permintaan.

Faisal juga mengingatkan, semua usaha untuk menyelamatkan generasi muda Indonesia dari bahaya rokok harus dilakukan secara sungguh-sungguh melibatkan semua kekuatan bangsa. Sebab, kekuatan industri rokok sangat besar. Ini tergambar dari situasi di mana nyaris tidak ada kelangkaan produk rokok di seluruh Indonesia. Dengan sistem logistik yang luar biasa, mereka bisa melakukan penyesuaian harga di mana pun. Pada daerah di mana daya beli rendah, harga rokok bisa murah.

”Tanpa ketegasan negara, peraturan di level apa pun akan dilanggar oleh industri rokok yang dikendalikan hanya oleh lima pabrikan besar,” kata Faisal.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com