Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Peternak Nikmati Harga

Kompas.com - 08/02/2013, 02:26 WIB

Bandar Lampung, Kompas - Peternak sapi lokal di Lampung mulai menikmati tingginya harga jual daging beberapa bulan terakhir menyusul pembatasan impor sapi bakalan. Namun, para pedagang daging justru mengeluhkan tingginya harga karena menurunkan omzet.

Amro (30), salah seorang peternak sapi di Lampung Timur, Kamis (7/2), mengatakan, harga jual daging sapi dari peternak kini mencapai Rp 32.000 - Rp 33.000 per kilogram bobot hidup. Harga ini jauh di atas batas keuntungan yang bisa dinikmati peternak.

”Angka riil yang menguntungkan adalah minimal Rp 29.000 per kg. Kami berharap harga yang baik, melebihi ini (angka keuntungan minimal) bisa dipertahankan sehingga kami tetap semangat memelihara sapi,” ujarnya.

Para peternak sapi sempat terpukul dengan jatuhnya harga jual sapi di tahun 2009. ”Ketika itu, harganya hanya Rp 20.000 per kg. Jika dihitung dengan biaya perawatan, pakan, dan pembibitan, itu tak menutupi,” katanya.

Namun, tingginya harga jual ini justru dianggap merugikan pedagang dan konsumen. Itu mengakibatkan tingginya harga di tingkat konsumen yang mencapai Rp 90.000 per kg di Kota Bandar Lampung. Padahal, awal tahun lalu, harga daging sapi di Bandar Lampung hanya Rp 65.000 per kg.

Meroketnya harga jual daging sapi melemahkan daya beli konsumen sehingga omzet para pedagang daging merosot tajam.

Sujai (50), pedagang daging di Pasar Smep, mengatakan, omzet penjualannya turun drastis hingga 50 persen sejak melonjaknya harga daging sapi setengah tahun terakhir.

”Sekitar 30 persen dari anggota saya yang berjumlah 500 orang kini gulung tikar, tidak bisa melanjutkan usaha. Bahkan, ada yang berutang. Ini bukti nyata bahwa kebijakan pemerintah (soal pembatasan impor) pada praktiknya di lapangan, justru merugikan sebagian pihak, khususnya kami,” tutur Ketua Perkumpulan Pedagang Daging Bandar Lampung Tampan Sujawardi.

Seperti terlihat di Pasar Smep dan Pasar Pasir Gintung, sejumlah lapak-lapak daging sapi kosong. Pedagangnya tidak lagi berjualan. Bahkan, sebagian lapak ini berganti dengan komoditas lainnya. Tampan menyayangkan ketidakmampuan pemerintah untuk menjamin lancarnya ketersediaan pasokan sapi.

”Pemerintah bilang stok sapi lokal sebetulnya mencukupi. Itu hanya di dalam kertas. Kenyataannya sangat jauh. Stok di feedlot berkurang dratis, kami beli dari petani pun sulit,” katanya kemudian.

Tahun ini jatah impor sapi bakalan di Lampung juga dibatasi, yaitu hanya 90.000 ekor. ”Kondisinya hampir serupa tahun lalu. Kuotanya dibatasi. Padahal, daya tampung penggemukan sapi sedikitnya 120.000 ekor,” ujar Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Lampung Setiato.

Sementara itu, Ketua Kadin Bidang Ketahanan Pangan Franciscus Welirang mengatakan, terjadinya praktik kartel merupakan akibat dari kebijakan intervensi pemerintah yang tidak memberikan pedoman/standar produk yang tepat kepada pelaku usaha. Standar diserahkan kepada swasta sehingga swasta bisa menentukan sendiri.

Menurut Franky, panggilan Franciscus, Indonesia mengimpor kedelai dengan harga murah karena kedelai yang diimpor masuk kualitas 3, untuk pakan ternak. Kedelai untuk pakan ternak ini harganya diadu dengan kedelai petani. ”Ya jelas saja kalah bersaing. Begitu juga tidak ada standar dalam kualitas tebu,” katanya.

Anggota Lembaga Pengkajian Penelitian dan Pengembangan Ekonomi (LP3EI) Kadin Ina Primiana mengatakan, harga komoditas lokal lebih tinggi dari impor. Hal ini menunjukkan adanya ketidakefisienan pada rantai pasok. (JON/MAS)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Cara Bayar Pajak Daerah secara Online lewat Tokopedia

Cara Bayar Pajak Daerah secara Online lewat Tokopedia

Spend Smart
Apa Itu 'Cut-Off Time' pada Investasi Reksadana?

Apa Itu "Cut-Off Time" pada Investasi Reksadana?

Earn Smart
Mengenal Apa Itu 'Skimming' dan Cara Menghindarinya

Mengenal Apa Itu "Skimming" dan Cara Menghindarinya

Earn Smart
BRI Beri Apresiasi untuk Restoran Merchant Layanan Digital

BRI Beri Apresiasi untuk Restoran Merchant Layanan Digital

Whats New
Kemenhub Tingkatkan Kualitas dan Kompetensi SDM Angkutan Penyeberangan

Kemenhub Tingkatkan Kualitas dan Kompetensi SDM Angkutan Penyeberangan

Whats New
CGAS Raup Pendapatan Rp 130,41 Miliar pada Kuartal I 2024, Didorong Permintaan Ritel dan UMKM

CGAS Raup Pendapatan Rp 130,41 Miliar pada Kuartal I 2024, Didorong Permintaan Ritel dan UMKM

Whats New
Simak Cara Menyiapkan Dana Pendidikan Anak

Simak Cara Menyiapkan Dana Pendidikan Anak

Earn Smart
HET Beras Bulog Naik, YLKI Khawatir Daya Beli Masyarakat Tergerus

HET Beras Bulog Naik, YLKI Khawatir Daya Beli Masyarakat Tergerus

Whats New
Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Lampaui Malaysia hingga Amerika Serikat

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Lampaui Malaysia hingga Amerika Serikat

Whats New
KKP Terima 99.648 Ekor Benih Bening Lobster yang Disita TNI AL

KKP Terima 99.648 Ekor Benih Bening Lobster yang Disita TNI AL

Rilis
Di Hadapan Menko Airlangga, Wakil Kanselir Jerman Puji Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

Di Hadapan Menko Airlangga, Wakil Kanselir Jerman Puji Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

Whats New
Soal Rencana Kenaikan Tarif KRL, Anggota DPR: Jangan Sampai Membuat Penumpang Beralih...

Soal Rencana Kenaikan Tarif KRL, Anggota DPR: Jangan Sampai Membuat Penumpang Beralih...

Whats New
Menteri ESDM Pastikan Perpanjangan Izin Tambang Freeport Sampai 2061

Menteri ESDM Pastikan Perpanjangan Izin Tambang Freeport Sampai 2061

Whats New
Pertumbuhan Ekonomi 5,11 Persen, Sri Mulyani: Indonesia Terus Tunjukan 'Daya Tahannya'

Pertumbuhan Ekonomi 5,11 Persen, Sri Mulyani: Indonesia Terus Tunjukan "Daya Tahannya"

Whats New
“Wanti-wanti” Mendag Zulhas ke Jastiper: Ikuti Aturan, Kirim Pakai Kargo

“Wanti-wanti” Mendag Zulhas ke Jastiper: Ikuti Aturan, Kirim Pakai Kargo

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com