Amro (30), salah seorang
”Angka riil yang menguntungkan adalah minimal Rp 29.000 per kg. Kami berharap harga yang baik, melebihi ini (angka keuntungan minimal) bisa dipertahankan sehingga kami tetap semangat memelihara sapi,” ujarnya.
Para peternak sapi sempat terpukul dengan jatuhnya harga jual sapi di tahun 2009. ”Ketika itu, harganya hanya Rp 20.000 per kg. Jika dihitung dengan biaya perawatan, pakan, dan pembibitan, itu tak menutupi,” katanya.
Namun, tingginya harga jual ini justru dianggap merugikan pedagang dan konsumen. Itu mengakibatkan tingginya harga di tingkat konsumen yang mencapai Rp 90.000 per kg di Kota Bandar Lampung. Padahal, awal tahun lalu, harga daging sapi di Bandar Lampung hanya Rp 65.000 per kg.
Meroketnya harga jual daging sapi melemahkan daya beli konsumen sehingga omzet para pedagang daging merosot tajam.
Sujai (50), pedagang daging di Pasar Smep, mengatakan, omzet penjualannya turun drastis hingga 50 persen sejak melonjaknya harga daging sapi setengah tahun terakhir.
”Sekitar 30 persen dari anggota saya yang berjumlah 500 orang kini gulung tikar, tidak bisa melanjutkan usaha. Bahkan, ada yang berutang. Ini bukti nyata bahwa kebijakan pemerintah (soal pembatasan impor) pada praktiknya di lapangan, justru merugikan sebagian pihak, khususnya kami,” tutur Ketua Perkumpulan Pedagang Daging Bandar Lampung Tampan Sujawardi.
Seperti terlihat di Pasar Smep dan Pasar Pasir Gintung, sejumlah lapak-lapak daging sapi kosong. Pedagangnya tidak lagi berjualan. Bahkan, sebagian lapak ini berganti dengan komoditas lainnya. Tampan menyayangkan ketidakmampuan pemerintah untuk menjamin lancarnya ketersediaan pasokan sapi.
”Pemerintah bilang stok sapi lokal sebetulnya mencukupi. Itu hanya di dalam kertas. Kenyataannya sangat jauh. Stok di feedlot berkurang dratis, kami beli dari petani pun sulit,” katanya kemudian.
Tahun ini jatah impor sapi bakalan di Lampung juga dibatasi, yaitu hanya 90.000 ekor. ”Kondisinya hampir serupa tahun lalu. Kuotanya dibatasi. Padahal, daya tampung penggemukan sapi sedikitnya 120.000 ekor,” ujar Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Lampung Setiato.
Sementara itu, Ketua Kadin Bidang Ketahanan Pangan Franciscus Welirang mengatakan, terjadinya praktik kartel merupakan akibat dari kebijakan intervensi pemerintah yang tidak memberikan pedoman/standar produk yang tepat kepada pelaku usaha. Standar diserahkan kepada swasta sehingga swasta bisa menentukan sendiri.
Menurut Franky, panggilan Franciscus, Indonesia mengimpor kedelai dengan harga murah karena kedelai yang diimpor masuk kualitas 3, untuk pakan ternak. Kedelai untuk pakan ternak ini harganya diadu dengan kedelai petani. ”Ya jelas saja kalah bersaing. Begitu juga tidak ada standar dalam kualitas tebu,” katanya.
Anggota Lembaga Pengkajian Penelitian dan Pengembangan Ekonomi (LP3EI) Kadin Ina Primiana mengatakan, harga komoditas lokal lebih tinggi dari impor. Hal ini menunjukkan adanya