Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Absurditas Kedaulatan Energi

Kompas.com - 20/04/2013, 02:46 WIB

Adi Nugroho

Dalam kurun 128 tahun sejak ditemukannya Telaga Said pada 1885, sudah tak terbilang jumlah investor asing yang berkiprah di kegiatan hulu migas.

Harus diakui bahwa peranan investor asing sangat besar dalam mengembangkan kegiatan hulu migas di Indonesia. Meskipun ada jutaan warga Indonesia yang mencari nafkah dari investor asing selama lebih dari satu abad, keinginan untuk mengusir mereka senantiasa bergema sepanjang waktu.

Pertanyaannya, mengapa kita harus mengusir mereka jika ada sebagian dari saudara kita diberi kesempatan bereksistensi oleh para investor tersebut? Apakah kita memang tidak diberi kesempatan untuk mengelola hulu migas, ataukah kita memang tidak ada usaha untuk menjadi tuan di negeri sendiri?

Kesejarahan energi

Perdebatan mengenai kedaulatan hulu minyak dan gas (migas) selalu berkisar pada kebijakan yang diambil pemerintah dalam konteks kekinian. Aspek kesejarahan tidak bisa dipisahkan apabila kita ingin mengkajinya secara jernih mengingat panjangnya rentang waktu kiprah hulu migas yang telah melewati lima rezim. Sejak rezim Belanda, Jepang, Orde Lama, Orde Baru, hingga Reformasi, akan tampak senantiasa kesempatan bagi bangsa Indonesia untuk berdaulat.

Pada waktu rezim Belanda, Jepang, dan awal Orde Lama, bangsa kita diberi kesempatan belajar dan meniti karier di industri hulu migas. Sejak akhir Orde Lama, Orde Baru, hingga Reformasi, bangsa kita bertindak sebagai ”majikan” dan investor asing harus mendapatkan izin untuk berkiprah.

Sebagai ”majikan”, kita berhak menentukan investor asing yang boleh beroperasi di Tanah Air. Investor asing tersebut ada yang berhasil mengembangkan blok migas, tetapi lebih banyak yang gagal dan harus angkat koper kembali ke kampungnya.

Dengan skema bagi hasil, investor harus terikat dengan kewajibannya untuk menyumbangkan devisa bagi negara. Adapun yang gagal menemukan cadangan hidrokarbon, segala kerugian finansial—yang bisa mencapai triliunan rupiah—pun harus ditanggung sendiri. Meski gagal, negara pun sudah mendapatkan keuntungan miliaran rupiah dari bonus saat kontrak kerja sama ditandatangani.

Dari aspek kesejarahan, kita dapat melihat ada tiga fase perjalanan kegiatan hulu migas yang sebenarnya menunjukkan keberpihakan kepada bangsa kita. Antara 1885-1957 adalah ”masa pembelajaran”. Ini dapat dilihat dari dibentuknya Pendidikan Ahli Minyak yang telah menghasilkan 160 ahli migas. Tahun 1957-2002 adalah ”masa pemberdayaan” yang ditandai dengan kelahiran Permina, Pertamin, PTMRI, dan disempurnakan dengan hadirnya Pertamina. Pada 2002 hingga sekarang adalah ”masa kemandirian” dengan kelahiran BP Migas. Tidak hanya Pertamina yang diberikan kesempatan mengelola blok migas, tetapi juga sektor swasta dan BUMD.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com