Dengan masa pembelajaran selama 72 tahun, masa pengembangan sepanjang 45 tahun dan masa pemberdayaan yang telah memasuki tahun ke-11, menjadi sesuatu yang ajaib jika investor asing masih diberi kesempatan. Tuduhan paling sering dipakai adalah pemerintah terlalu pro asing atau tidak memiliki politik energi yang jelas. Padahal, undang-undang dan segala peraturan telah memberi kesempatan kepada seluruh warga negara untuk mengelola blok migas.
Namun, mengapa hanya Pertamina, Medco, Energi Mega Persada (EMP), Star Energy, dan Sele Raya yang dapat berkiprah? Jawabannya adalah kita terlampau terlena sebagai ”majikan” dan enggan bertindak sebagai pemain bisnis hulu migas.
Jika bicara kedaulatan energi, Pertamina selalu kita jadikan ”tameng” untuk mengelola blok migas. Kita ”memaksa” Pertamina mengakuisisi semua blok asing tanpa menghiraukan karakteristik bisnis hulu migas. Padahal, Pertamina harus berhadapan dengan karakteristik bisnis berupa tingginya risiko, besarnya biaya, dan tuntutan teknologi.
Karena kita menjadikan Pertamina sebagai tameng, kiprah swasta seperti Medco dan EMP pun tidak kita perhatikan. Kiprah BUMD seperti Sarana Pembangunan Riau, Bumi Siak Pusako atau Perusda Benuo Taka pun seperti hilang ditelan bumi.
Hal ini menjadi absurd ketika kita memaksa Pertamina untuk mengakuisisi blok asing tetapi ternyata kita sendiri tidak mendukung operasi mereka. Kita bisa melihat dalam kasus Tiaka. Pertamina dan Medco dijadikan santapan empuk terkait pelanggaran hak asasi manusia. Dari 22 lapangan Pertamina, hampir semua berhadapan dengan tuntutan CSR dari masyarakat atau permintaan dana bagi hasil dari pemerintah daerah.
Bertambah absurd lagi ketika operasi seismik Pertamina dalam usaha menemukan cadangan hidrokarbon pun ditolak masyarakat setempat. Tampaknya, sebagai ”majikan”, kita hanya menginginkan Pertamina bekerja semaksimal mungkin, tetapi segala risiko yang dihadapi harus ditanggungnya sendiri.
”Pemaksaan” terhadap Pertamina pun berimbas pada tudingan bahwa pemerintah tidak memiliki kejelasan dalam politik energi yang sebenarnya tidak menyelesaikan inti permasalahan. Meskipun Blok Cepu dan Mahakam diberikan ke Pertamina sebagai representasi dari politik energi yang kita kehendaki, apakah kemudian kita mau membantu operasi Pertamina? Jika wewenang BP Migas dikembalikan kepada Pertamina, apakah kita mau membantu mereka untuk mengelola blok migas?
Salah satu jalan keluar dari absurditas ini adalah menyadarkan kepada semua pemangku kepentingan akan tanggung jawab sosial mereka dalam kegiatan hulu migas. Selama ini, kita hanya mengenal CSR, yang menempatkan perusahaan sebagai obyek untuk ”diperas” sesuai keinginan kita. Padahal, semua pemangku kepentingan seharusnya punya tanggung jawab yang sama demi terwujudnya kedaulatan energi.
Tanggung jawab Pertamina dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) adalah menyumbangkan pendapatan negara dari produksi migas. Tanggung jawab pemangku kepentingan—baik pemda, civil society (media, LSM, dan akademisi) ataupun masyarakat—adalah mendukung agar operasi hulu migas dapat berjalan dengan lancar.