JAMBI, KOMPAS.com - Sebagian petani di kawasan transmigrasi Sungai Bahar, Muaro Jambi, menolak penerapan pola satu manajemen atau satu atap dalam realisasi peremajaan sawit oleh PT Perkebunan Nusantara VI. Pola ini dikhawatirkan mengabaikan keberadaan petani sebagai pemilik lahan. Petani tak ubahnya buruh di lahan sendiri.
Peremajaan direncanakan berlangsung tahun ini pada keluasan 10.000 hektar di areal plasma. Tanaman sawit di sana telah berusia di atas 25 tahun dengan produktivitas 50 persen lebih rendah dari kondisi puncak.
Ketua KUD Makartitama, Bambang Sudiyono menilai penerapan pola ini akan mengabaikan keberadaan petani sebagai pemilik tanah. "Kami hanya akan menjadi buruh pada lahan yang merupakan milik kami sendiri," tuturnya.
Melalui pola satu atap, seluruh areal sepenuhnya dalam kendali perusahaan mulai dari perawatan hingga pemanenan. Petani yang terlibat di lahan sebagai pekerja lepas.
"Pada saat panen, perusahaan membagi rata keuntungan untuk seluruh petani pemilik lahan di wilayah itu. Ini berarti tidak ada bedanya hasil yang diperoleh petani yang tekun merawat tanaman dan yang malas," lanjut Bambang.
Kepala Bagian Perencanaan dan Pengkajian Bisnis PTPN VI, Bontor Marpaung mengatakan, pola ini diterapkan karena sesuai tuntutan perbankan. Pola ini diyakini menjamin pengembalian kredit selesai dalam 13 tahun. Produksi sawit yang dihasilkan melalui pola satu atap juga diperkirakan lebih banyak.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.