Perang Jawa mengubah peta politik dan pola relasi antara para raja Jawa dan orang Eropa. Pasca-didera kemiskinan akibat perang yang dikobarkan Diponegoro pada 1825- 1830, keempat wangsa pewaris takhta Mataram menikmati ”uang gula”. Para ”bekel Eropa” membawa lebih banyak uang dibandingkan dengan bekel pribumi, dan mengenalkan gaya hidup dan makanan Eropa.
Sri Ratna Saktimulya menaruh kitab setebal lima sentimeter itu dengan hati-hati. Filolog Pura Pakualaman itu pelan membalik lembaran demi lembaran yang berumur 200 tahun. Serat Bharatayudha yang penuh ilustrasi aneka warna itu ditulis atas perintah putra mahkota Pakualaman, Pangeran Suryaningrat, pada tahun 1814.
”Gambar meja ini adalah ilustrasi hidangan Kurawa saat menerima Kresna yang menjadi utusan Pandawa menjelang Bharatayudha,” kata Sakti menunjukkan salah satu ilustrasi dalam serat itu.
Meja besar itu tergambar penuh aneka hidangan, seperti ikan, kepiting, udang, daging, dan aneka buah. Piring berjajar, diapit pisau-garpu, sendok, sebotol minuman, sebuah cawan anggur, dan gelas tanpa kuping. Sakti membaca narasi aksara Jawa yang ada di atasnya.
”Semua piring dan sendoknya berlapis emas. Perkakas meja serba enak dan bermacam ragamnya. Masakan sayur, roti, keju, buah, coklat, dan air teh, semua disajikan dalam keadaan hangat. Minumannya semerbak—arak, adas, dan breduen, anggur saki merah—ada di nampan kencana yang dibawa para perempuan yang berhias,” Sakti membacakan isi kitab berbahasa Jawa itu.
Lakon Kresna Duta yang ganjil, sebuah bagian epos Mahabarata dengan perjamuan ala Eropa bagi Kresna. Hadirnya keju, coklat, roti, ataupun anggur merah dalam dongeng itu seperti gambaran kehidupan bangsawan Pakualaman kala itu. Masa di mana mereka kian berinteraksi dengan orang Eropa. Relasi berikutnya makin ”mesra”, terbangun oleh simbiosis mutualisme para raja pemilik tanah dan para tuan Eropa penyewa tanah.
Residen HG Nahuys van Burgst pada 1816 menggagas penyewaan tanah raja dan tanah lungguh bangsawan untuk perkebunan komoditas yang laku di pasaran Eropa. Hingga 1821, tak kurang dari 1.281 jung tanah para raja di Surakarta dan Yogyakarta disewa ratusan ”bekel Eropa”.
Mesin uang para raja dan bangsawan pemegang tanah lungguh macet tiba-tiba, gara-gara pemerintah Hindia Belanda pada 6 Mei 1823 menerbitkan aturan melarang praktik sewa tanah kerajaan. Alasannya, penyewaan lahan itu tak memperbaiki kesejahteraan rakyat (Vincent JH Houben, 1994). Larangan itu membuat para raja dan bangsawan terlilit utang karena harus membayar ganti rugi kepada para ”bekel Eropa”.
Banyak dari para bangsawan berutang bergabung dalam barisan Diponegoro, mengobarkan perang Jawa. Begitu besarnya perang yang menewaskan 200.000 orang Jawa itu (Peter Carey, 2011), Hindia Belanda nyaris bangkrut. Negara induk Kerajaan Belanda tak kuasa membantu, karena uangnya pun habis gara-gara perang Napoleon dan pemberontakan Belgia.
Tanam Paksa gagasan Johannes van den Bosch (1780-1844) dipilih sebagai solusinya. Seluruh tanah di Jawa harus dijadikan perkebunan komoditas yang laku di pasar Eropa demi menyelamatkan kas Kerajaan Belanda dan Hindia Belanda.
Jeri dengan perang Jawa, Van den Bosch tak menggelar tanam paksa di kerajaan keempat wangsa pewaris takhta Mataram. Justru para raja dan bangsawan pemegang lungguh yang ”berlomba” untuk kembali menyewakan tanah mereka kepada para ”bekel Eropa”.
Kali ini, industri perkebunan para ”bekel Eropa” berumur panjang dan merombak perikehidupan para raja dan kawulanya. Ledakan laba ”uang gula” membanjiri Sunan PB IX (bertakhta 1861-1893), Sultan HB VII (bertakhta 1877-1921), Mangkunegoro (MN) IV (bertakhta 1853-1881), dan Pakualam (PA) V (bertakhta 1878-1900).
Kepiawaian PB IX berbisnis dengan ”bekel Eropa” menjadikan PB X sebagai raja Jawa terkaya sepanjang sejarah. ”Mobil pertama di Jawa dimiliki oleh PB X, ketika orang Eropa pun belum mampu membelinya. Dengan warisan PB IX, PB X merenovasi kompleks makam Imogiri dan Masjid Agung Kotagede di Yogyakarta. Beliau pula yang membangun Sriwedari, juga membangun Masjid Agung Kauman Surakarta,” kata Margana.
Moerdijati Gardjito mengisahkan betapa manisnya ”uang gula”. ”Ketika Sultan HB VII naik takhta, atap istana bocor di mana-mana. Penyewaan tanah- tanah raja Kesultanan Yogyakarta kaya raya. HB VIII membeli segala macam barang Eropa,” kata Moerdijati.
MN IV (bertakhta 1853-1881) yang wilayah
MN IV juga menggaji sejumlah orang Belanda sebagai pengelola kebun dan pabrik gulanya. Pada tahun 1871, MN IV membangun pabrik gula keduanya, Tasik Madu (Wasino, 2008). Pakualam V mengikuti jejaknya dengan membangun pabrik gula Sewu Galur.
”Pada kurun tahun 1870, intensitas akulturasi Jawa-Eropa sangat menguat. Uang hasil perkebunan digunakan membeli gaya hidup Eropa, termasuk kulinernya. Para raja semakin rajin membuat perjamuan ala Eropa, yang pastilah dihasilkan oleh koki Eropa,” kata Margana.
Maka lahirlah bistik jawa, yang berakar dari biefstuk—seperti hidangan daging panggang Belanda bersaus kaldu kental. ”Bistik dan selat adalah makanan kersanan Sunan PB IX,” tutur GKR Timoer soal pengaruh Eropa dalam kuliner Kasunanan.
Di Kesultanan Yogyakarta, muncul roti jok, kue berbahan campuran tepung beras dan tepung terigu. Di Pura Pakualaman, hutspot (masakan simbol perlawanan rakyat Leiden, Belanda, melawan Spanyol pada 1573-1574) bersalin jadi ongklok kegemaran Paku Alam VIII.
Berkat gula, ekonomi Surakarta dan Yogyakarta tumbuh pesat. Kedua kota kian urban, dengan semakin banyaknya pendatang, dan pertumbuhan sektor jasa.
Di Jalan Malioboro, Yogyakarta, bertumbuhan hotel, restoran, dan toko roti Eropa. Surakarta malah lebih urban lagi, karena memiliki jaringan rel kereta api yang menghubungkannya dengan Semarang. Itulah awal terbentuknya cita rasa elite Jawa yang menekuk santapan Eropa menjadi hidangan Jawa. Juga pergulatan kawula untuk ikut mencecap rasa sedap.