Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Eko Mulyadi, Penggerak Perubahan "Kampung Idiot"

Kompas.com - 16/09/2013, 21:08 WIB
Kontributor Kediri, M Agus Fauzul Hakim

Penulis

Eko semakin mempunyai keinginan keras dalam berjuang mengubah keadaan karena merasa pemerintah waktu itu tidak ada perhatian sama sekali. Padahal, kondisi kampungnya telah terjadi sekian lama.

Pergolakannya mulai terjadi saat usianya remaja. Ia mulai bergerak dengan mengabdikan diri pada organisasi karang taruna yang ada di desanya. Pada saat yang bersamaan, ia juga menuntut ilmu di sebuah perguruan tinggi di pusat kota berjuluk "Kota Reog" ini.

Dasar-dasar pergerakan yang ia dapatkan selama berkecimpung dalam organisasi pergerakan mahasiswa itu turut menjadi bekal dalam menjalankan organisasi karang taruna di desanya. Melalui gebrakan-gebrakannya, ia menjadi panutan bagi pemuda seusianya.

"Karena kondisi yang miskin, dulu kalau musim kurban, kami sering mengupayakan adanya daging kurban dari luar daerah yang kami datangkan ke sini," kata Eko saat ditemui Kompas.com di rumahnya, pekan ini.

Dengan statusnya sebagai mahasiswa itu, ia mulai menggunakan jaringannya untuk memulai gerakan perubahan di desanya. Tak jarang ia mengajak serta para donatur potensial untuk ikut mengunjungi desanya. Tujuannya agar para donatur mengetahui pasti kondisinya.

Pada 2010, perjuangannya itu mulai mendapat hasil. Beberapa donatur mulai memberikan bantuannya, di antaranya dari Bank Indonesia Kediri yang memberikan bantuan awal sebesar Rp 3 juta dan ditambah lagi Rp 25 juta. Bantuan itu ia gunakan sebagai modal pengembangan budidaya lele.

Dengan modal bantuan yang ada, ia bersama Kelompok Masyarakat (Pokmas) desanya membangun kolam besar seluas 4 x 16 meter yang mampu menampung 24.000 ekor bibit lele. Dalam jangka waktu tiga bulan kemudian, kolam itu menghasilkan untung Rp 3.000.000.

Keuntungan itu, ditambah dengan beberapa bantuan lain yang masuk, diinvestasikan lagi untuk membangun dua kolam besar seluas 5,5 x 24 meter persegi dengan kapasitas masing-masing 48.000 bibit lele. Kolam ini sekaligus sebagai kolam “pembelajaran” bagi beberapa penyandang tunagrahita.

“Tentu mereka mempunyai pendamping yang bertugas mengawasi dan membina saudara kami yang berkebutuhan khusus. Saat ini ada empat pendamping,” imbuh Eko.

Setelah dua tahun berlalu, usaha budidaya lele mereka semakin sukses. Para penyandang tunagrahita yang “magang” itu kemudian dibuatkan kolam kecil yang dibangun di rumah masing-masing.

Seiring berjalannya waktu, saat ini sudah ada sebanyak 57 kolam yang tersebar di setiap rumah yang terdapat pengidap defisiensi mental itu. Selain itu, ada 48 kolam yang disediakan untuk masyarakat umum yang tertarik dalam bidang ini.

“Karena sejak awal tujuan kita adalah pemberdayaan masyarakat, cakupan kami perluas kepada masyarakat umum,” imbuhnya.

Kendala penghadang

Waktu awal-awal merintis perjuangannya itu bukanlah saat yang mudah. Cemoohan warga sering ia rasakan. Sikap skeptis itu muncul karena ide pemberdayaan yang diusung Eko belum sepenuhnya diterima masyarakat.

Membuat mandiri para penyandang keterbelakangan intelektual dianggap sesuatu yang irasional sehingga tidak mungkin terelasiasi. Tidak sedikit pula yang mencurigainya dengan menganggapnya hanya mengambil manfaat.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com