Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pemerintah AS "Shutdown", Inilah Akar Masalahnya

Kompas.com - 02/10/2013, 18:12 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Layaknya anggota dewan yang terhormat di Senayan, di Amerika Serikat pun kebiasaan saling jegal antara kubu oposisi dan pendukung pemerintah juga terjadi.

Salah satu hal yang paling terasa dari pertarungan itu adalah terhentinya roda pemerintahan AS karena DPR AS yang dikuasai kubu Partai Republik tidak menyetujui kenaikan anggaran yang digunakan untuk menopang pemerintahan.

Tidak setujunya DPR AS berlatar kebijakan pemerintahan Presiden Barrack Obama menggulirkan program Patient Protection and Affordable Care Act (PPACA) atau UU Perlindungan dan Perawatan Terjangkau bagi Pasien.

Dalam program tersebut, Pemerintah AS mewajibkan setiap warga negara, terutama yang miskin, memiliki asuransi kesehatan yang disediakan oleh swasta yang disubsidi oleh pemerintah. Secara umum, kebijakan ini akan menjamin hampir semua warga AS memperoleh layanan kesehatan yang layak.

Pada saat yang sama, Pemerintah AS meminta persetujuan DPR untuk menaikkan pagu anggarannya melalui penaikan plafon utang. Pagu utang sebesar 16,7 triliun dollar AS dinilai tak memadai untuk menyokong operasional pemerintahan.

Hal inilah yang membuat kubu Republiken tidak setuju. Alasan utamanya adalah, anggaran AS akan semakin terbebani oleh program PPACA. Hal lainnya adalah kebijakan PPACA atau yang lazim disebut Obamacare akan mematikan inovasi bisnis di industri asuransi.

Untuk itu, pada Senin (30/9/2013), kubu Republik mengusulkan amandemen Obamacare agar kenaikan pagu anggaran dan utang Pemerintah AS disetujui DPR. Namun, hal itu ditolak oleh kubu Demokrat selaku pendukung Presiden Obama. Akibatnya, persetujuan kenaikan anggaran pemerintah ditolak DPR AS.

Karena kesepakatan tidak tercapai, Pemerintah AS pada Senin malam terpaksa harus menghentikan kegiatannya lantaran tak memiliki dana cukup. Selain itu, Pemerintah AS juga tidak bisa berutang untuk menutup kebutuhan itu.

Respons positif

Kebijakan Obamacare sebenarnya direspons positif oleh penduduk AS. Sebagaimana dikutip dari BBC, jelang peluncuran program tersebut, warga berduyun-duyun untuk mendaftar di berbagai gerai penjualan.

Bahkan, situs Obamacare sempat bermasalah akibat banyaknya pengakses untuk membuat akun polis. "Ini benar-benar kacau," ujar seorang warga yang mencoba mendaftar secara online.

Bahkan, Presiden Obama mengakui, saking banyaknya pendaftar, hal itu membuat situs pendaftaran asuransi Obamacare berjalan lebih lambat dari biasanya.

Kepala ekonom Bank Mandiri, Destry Damayanti, menyatakan bahwa terhentinya sebagian kegiatan operasi Pemerintah AS menjadi pertaruhan bagi negara adidaya itu.

"Sebagai negara besar, tentunya tak akan mungkin shutdown akan berlangsung lama. Saya melihat akan terjadi titik kompromi antara Partai Republik dan Partai Demokrat," ujarnya.

Dia memperkirakan, kubu Demokrat akan sedikit mengalah terkait dengan tekanan dari kubu Republik. Salah satu yang mungkin bisa dilakukan adalah menyeleksi penerima manfaat Obamacare.

"Mungkin, nanti tidak semua pendaftar bisa mendapatkan layanan asuransi murah, tetapi akan diseleksi," ujarnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Kehabisan Tiket Kereta? Coba Fitur Access by KAI Ini

Kehabisan Tiket Kereta? Coba Fitur Access by KAI Ini

Spend Smart
Harga Saham BBRI 'Nyungsep' 5 Persen, Investor 'Buy' atau 'Hold'?

Harga Saham BBRI "Nyungsep" 5 Persen, Investor "Buy" atau "Hold"?

Whats New
Cara Hapus Daftar Transfer di BCA Mobile

Cara Hapus Daftar Transfer di BCA Mobile

Work Smart
Perkuat Stabilitas Rupiah di Tengah Ketegangan Dunia

Perkuat Stabilitas Rupiah di Tengah Ketegangan Dunia

Whats New
Bantu Industri Hadapi Risiko Geopolitik, PGN Bakal Bangun Hub Optimalkan LNG Lintas Negara

Bantu Industri Hadapi Risiko Geopolitik, PGN Bakal Bangun Hub Optimalkan LNG Lintas Negara

Whats New
Mendag Musnahkan 27.078 Ton Produk Baja Ilegal Milik PT Hwa Hook Steel

Mendag Musnahkan 27.078 Ton Produk Baja Ilegal Milik PT Hwa Hook Steel

Whats New
Survei BI: Penyaluran Kredit Baru Perbankan Tumbuh pada Kuartal I-2024

Survei BI: Penyaluran Kredit Baru Perbankan Tumbuh pada Kuartal I-2024

Whats New
Bangun Ekosistem Hunian Terintegrasi Internet, Perumnas Gandeng Telkomsel

Bangun Ekosistem Hunian Terintegrasi Internet, Perumnas Gandeng Telkomsel

Whats New
Kalog Express Layani Pengiriman 3.186 Ton Barang Selama Lebaran 2024

Kalog Express Layani Pengiriman 3.186 Ton Barang Selama Lebaran 2024

Whats New
Bank Sentral Jepang Pertahankan Suku Bunga

Bank Sentral Jepang Pertahankan Suku Bunga

Whats New
Temukan Jaringan Narkotika di Tangerang, Bea Cukai dan BNNP Banten Musnahkan 21 Kg Sabu

Temukan Jaringan Narkotika di Tangerang, Bea Cukai dan BNNP Banten Musnahkan 21 Kg Sabu

Whats New
Dorong UMKM 'Go Global', Pertamina Kembali Gelar UMK Academy 2024

Dorong UMKM "Go Global", Pertamina Kembali Gelar UMK Academy 2024

Whats New
Mata Uang Polandia Bukan Euro meski Gabung Uni Eropa, Apa Alasannya?

Mata Uang Polandia Bukan Euro meski Gabung Uni Eropa, Apa Alasannya?

Whats New
Bersinergi Bersama, Bea Cukai dan BNN Usut Tuntas 4 Kasus Peredaran Sabu dan Ganja di Jateng

Bersinergi Bersama, Bea Cukai dan BNN Usut Tuntas 4 Kasus Peredaran Sabu dan Ganja di Jateng

Whats New
Dana Asing Rp 29,73 Triliun Cabut dari Indonesia, Ini Kata Sri Mulyani

Dana Asing Rp 29,73 Triliun Cabut dari Indonesia, Ini Kata Sri Mulyani

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com