Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Karen Agustiawan: "We’ve Gone So Far"

Kompas.com - 20/10/2013, 13:19 WIB

Blok Mahakam itu siapa sih yang tidak mau mendanai? Cadangan terbukti, produksinya jelas. Kalau ada yang bilang dananya dari mana, berarti orang itu tidak tahu pasar. Kalau saya punya aset, produksi gas 1.000 mmscfd (juta kaki kubik per hari) saja, saya bisa melaksanakan IPO (penjualan saham perdana), bisa langsung ambil manfaatnya. Apalagi, ini cadangannya ada beberapa BCF (miliar kaki kubik). Pertamina ini dihargai tinggi di luar, tapi di dalam negeri banyak opini negatif.

Tetapi, sebagai korporasi, Pertamina masih kalah dibandingkan Petronas?

Iya, memang Pertamina masih jauh dibandingkan Petronas sekarang. Kalau mau fair, bandingkan Petronas ketika baru 10 tahun berdiri dengan Pertamina sekarang. Karena Pertamina baru mulai berpikir secara korporasi setelah menjadi persero 10 tahun lalu. Sementara Petronas sudah dalam bentuk korporasi sejak dibentuk.

Pertamina itu tidak usah ditantang A, B, C, D. Apa Petronas itu juga ditantang waktu mau tumbuh? Petronas malah dikasih uang berjudi untuk beli aset 10 miliar dollar AS. Memang migas itu judi. Sementara kalau kami mau beli aset, dikritik. Kalau tidak mau berisiko, buka toko di garasi saja.

Kami juga governance (membeli aset). Memutuskan harus bottom up, lewat pendampingan pihak ketiga, disetujui direksi, komisaris, dan pemegang saham. Jadi proses korporasi dijalankan. Lha kok dibilang macam-macam. Orang yang kritik ini pasti tidak pernah kerja di korporasi.

Untuk membesarkan Pertamina, apakah akan fokus akuisisi blok-blok migas di luar negeri?

Untuk mencapai pertumbuhan produksi migas 2,2 juta barrel setara minyak tahun 2025, kita ingin 30 persen (total produksi dari blok migas) di luar negeri, dan 50 persen dari aset dalam negeri.

Keuntungannya, Pertamina 100 persen milik negara, dividen dan pajaknya ke negara. Silakan lihat, berapa belanja modal di Blok WMO dan ONWJ saat belum diambil alih Pertamina, dan berapa kali lipat belanja modal Pertamina untuk memajukan ONWJ dan WMO. Kalau kita punya aset, kita bukan main kertas (jual-beli hak partisipasi blok). Kita betul-betul mengoperasikan.

Impor minyakSalah satu bisnis Pertamina yang rawan kolusi adalah pengadaan impor minyak mentah dan produk bahan bakar minyak (BBM). Karen menjanjikan, proses impor minyak kini lebih transparan karena proses lelang secara elektronik tidak lagi menyertakan pedagang antara. Pertamina membeli langsung dari produsen atau kilang dengan harga patokan yang bisa diakses terbuka.

Namun, persoalan tak kalah krusial adalah ketergantungan Indonesia terhadap impor minyak mentah dan produk BBM yang makin tinggi.

Bagaimana mengurangi ketergantungan impor minyak?

Saya setuju subsidi BBM dikurangi dan bertahap dihilangkan. Subsidi harus didistribusikan tertutup. Kalau kita mau tumbuh dan membangun infrastruktur, yang pakai BBM bersubsidi hanya sepeda motor, nelayan, dan transportasi publik. BBM bersubsidi off diganti batubara dan gas.

Kita tidak bisa mengembangkan shale gas (gas serpihan batuan shale) kalau kita tidak punya infrastruktur seperti Amerika Serikat. Shale gas itu bukan soal teknologi, tetapi infrastruktur. Pada saat mengembangkan gas dari Blok Masela dan Natuna, harapan saya saat itu pemerintah sudah membangun seluruh infrastruktur jaringan. Prioritasnya dalam negeri. Jadi semua kebutuhan energi dipenuhi oleh resources kita. Itu cita-cita saya, mimpi saya.

Kilang terakhir dibangun 1994, mengapa tidak ada penambahan kilang baru?

Impor minyak adalah konsekuensi meningkatnya konsumsi domestik. Sementara produksi minyak terus turun dan Indonesia lambat menambah kapasitas kilang (kapasitas kilang saat ini 40 juta kiloliter per tahun, kebutuhan 56 juta kiloliter per tahun). Untuk mengatasi itu, Pertamina berupaya meningkatkan kapasitas lima kilang yang ada dan akan membangun kilang baru. Kilang harus dibangun walaupun tidak akan masuk keekonomian. Itu harus dianggap infrastruktur.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com