"Siapa pun yang menjadi presiden, sampai sekarang produksi minyak tetap turun," kata Gde dalam peluncuran buku Nasionalisme Migas, Jakarta, Rabu (24/9/2014).
Gde memaparkan, peak atau produksi minyak sebelumnya pernah terjadi pada 1977 dan 1995. Dari tahun 1940-an, produksi Chevron Indonesia berdampak langsung terhadap naik-turunnya lifting nasional. Lapangan-lapangan di Minas dan Duri kini sudah menua, sementara kebutuhan terus meningkat.
"Decline rate memang bisa dikurangi, dari 15 persen ke 5 persen. Namun, saya belum melihat upaya signifikan dari sisi konsumsi," imbuh dia.
Gde menambahkan, pengendalian dari sisi konsumsi ini bukan berarti dilarang. Sebab, konsumsi yang tinggi sejatinya juga menunjukkan kesejahteraan masyarakat makin tinggi. "Harus ada diversifikasi energi supaya ketergantungan terhadap minyak berkurang," lanjut Gde.
Dia menambahkan, jika tidak ada upaya dalam diversifikasi energi dan pengendalian konsumsi, maka Indonesia terancam menjadi nett importir pada 2025 mendatang. "2025 impor kita akan mencapai 1,5 juta barrel per hari minyak. Karena konsumsinya tumbuh 8 persen per tahun, tapi produksi alamiah turun 10-15 persen," tukas dia.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.