Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ekonom Pertanyakan Pembangunan Listrik 35.000 MW

Kompas.com - 24/03/2015, 17:22 WIB
Stefanno Reinard Sulaiman

Penulis


JAKARTA,KOMPAS.com - Proyek pemerintah membangun pembangkit listrik berkapasitas 35.000 MW (megawatt) selama 5 tahun ke depan, dinilai ekonom Tri Mumpuni Iskandar, tidak akan efektif untuk membangun ekonomi kerakyatan. Menurut dia, proyek pembangunan di delapan wilayah Indonesia tersebut hanya akan menyentuh masyarakat kalangan menengah ke atas. "Kalau didesain bisa. Bisa, tapi ini didesain untuk pengusaha kaya semua. Itu tidak efektif untuk membangun ekonomi kerakyatan sama sekali," jelas Tri yang juga menjabat sebagai Direktur Eksekutif Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan (Ibeka) di Jakarta, Selasa (24/3/2015).

Tri memberi contoh, ada desa yang bisa hidup hanya dengan 50 VA (volt ampere). Oleh karena itu, kata dia, kebutuhan listrik yang besar digembor-gemborkan saat ini hanya di kalangan atas saja. "Krisis energi hanya untuk yang kaya-kaya saja. Yang di sana, 70 tahun setelah merdeka belum merasakan listrik tak teriak krisis energi seperti rumah harus 10.000 VA. Sementara, di desa bisa hidup dengan 50 VA. Ini ketidakadilan yang diciptakan oleh pemerintah juga," lanjut Tri.

Menurut Tri, untuk menyentuh rakyat-rakyat di pedesaan, pembangkit listrik yang sesuai adalah berbasis energi terbarukan. Kata dia, pemanfaatan sumber daya lokal atau kearifan lokal menjadi penggerak utamanya. "Harus tersebar kalau mau menyentuh rakyat-rakyat kecil, dengan pembangkit listrik berbasis renewable energi, bisa angin, matahari, bisa hidro, biofuel, atau biogas," kata Tri.

Tri mengatakan, efek dari sistem tender proyek, serta sistem koordinasi top to bottom, membuat masyarakat tidak memunyai rasa memiliki dari infrastruktur tersebut. "Harus ada common goal bahwa desanya akan terang. Hilang sekarang karena ada proyek datang, kadang mereka tidak libatkan masyarakat. Mereka jadinya merasa ini proyek pemerintah bukan untuk masyarakat, nanti anggapannya kalau rusak, berarti pemerintah yang beresin," jelas Tri.

Tri menambahkan, saat ini banyak insinyur-insinyur muda yang berkapasitas untuk membangun pembangkit listrik di daerah-daerah terpencil. Namun, kata dia, pemerintah belum memfasilitasi mereka untuk merealisasikan program tersebut. "Banyak sekali insyinur-insinyur muda yang mau turun ke sana (desa/daerah terpencil) untuk bisa bersama membangun, tapi itu tidak terfasilitasi dengan baik. Jadi fokusnya untuk yang gede saja," kata Tri.

Selain itu, kata dia, pemerintah perlu berkaca dari proyek pembangunan pembangkit listrik berkapasitas 10.000 MW pada zaman pemerintahan SBY. Menurutnya, proyek tersebut mengalami permasalahan hingga belum rampung juga hingga akhir pemerintahan SBY. "Kita evaluasi sajalah pembangunan 10.000 MW yang lalu di jaman SBY, sebelum melangkah ke yang sekarang," kata Tri.

Sebagai informasi, proyek pembangunan pembangkit listrik 35.000 MW direncakan akan tuntas dalam lima tahun ke depan. Proyek itu digarap bersama PT. PLN (Persero) dan produsen listrik swasta (independent power producer/IPP). PLN menggarap 10.000 MW sedangkan IPP 25.000 MW. Proyek tersebut tersebar di, Sumatera, Jawa, Sulawesi, Kalimantan, Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

OJK: Guru Harus Punya Pengetahuan tentang Edukasi Keuangan

OJK: Guru Harus Punya Pengetahuan tentang Edukasi Keuangan

Whats New
Sekjen Anwar: Kemenaker Punya Tanggung Jawab Besar Persiapkan SDM Unggul dan Berdaya Saing

Sekjen Anwar: Kemenaker Punya Tanggung Jawab Besar Persiapkan SDM Unggul dan Berdaya Saing

Whats New
Lowongan Kerja BUMN Viramakarya untuk Posisi di IKN, Ini Posisi dan Persyaratannya

Lowongan Kerja BUMN Viramakarya untuk Posisi di IKN, Ini Posisi dan Persyaratannya

Whats New
Soal Relaksasi HET Beras Premium, Dirut Bulog: Biasanya Sulit Dikembalikan...

Soal Relaksasi HET Beras Premium, Dirut Bulog: Biasanya Sulit Dikembalikan...

Whats New
Potensi Pasar Geospasial di Indonesia

Potensi Pasar Geospasial di Indonesia

Whats New
OJK Minta Lembaga Keuangan Bikin 'Student Loan' Khusus Mahasiswa S-1

OJK Minta Lembaga Keuangan Bikin "Student Loan" Khusus Mahasiswa S-1

Whats New
Soal Tarif PPN 12 Persen, Sri Mulyani: Kami Serahkan kepada Pemerintahan Baru

Soal Tarif PPN 12 Persen, Sri Mulyani: Kami Serahkan kepada Pemerintahan Baru

Whats New
Citilink Buka Lowongan Kerja Pramugari untuk Lulusan SMA, D3, dan S1, Ini Syaratnya

Citilink Buka Lowongan Kerja Pramugari untuk Lulusan SMA, D3, dan S1, Ini Syaratnya

Whats New
Kerangka Ekonomi Makro 2025: Pertumbuhan Ekonomi 5,1 - 5,5 Persen, Inflasi 1,5 - 3,5 Persen

Kerangka Ekonomi Makro 2025: Pertumbuhan Ekonomi 5,1 - 5,5 Persen, Inflasi 1,5 - 3,5 Persen

Whats New
Tinjau Fluktuasi Bapok, KPPU Lakukan Sidak Serentak di Sejumlah Pasar

Tinjau Fluktuasi Bapok, KPPU Lakukan Sidak Serentak di Sejumlah Pasar

Whats New
Simak Rincian Kurs Rupiah Hari Ini di BRI hingga CIMB Niaga

Simak Rincian Kurs Rupiah Hari Ini di BRI hingga CIMB Niaga

Whats New
Kemenhub: KNKT Akan Investigasi Penyebab Jatuhnya Pesawat di BSD

Kemenhub: KNKT Akan Investigasi Penyebab Jatuhnya Pesawat di BSD

Whats New
Telat Bayar Tagihan Listrik Bisa Kena Denda, Berapa Biayanya?

Telat Bayar Tagihan Listrik Bisa Kena Denda, Berapa Biayanya?

Whats New
Harga Bahan Pokok Senin 20 Mei 2024, Harga Cabai Merah Keriting Turun

Harga Bahan Pokok Senin 20 Mei 2024, Harga Cabai Merah Keriting Turun

Whats New
Simak, Ini Cara Cek Lolos Tidaknya Seleksi Prakerja 2024

Simak, Ini Cara Cek Lolos Tidaknya Seleksi Prakerja 2024

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com