KOMPAS.com — Dasep Ahmadi bukanlah seorang figur publik. Dasep hanyalah seorang industriawan yang mencoba memproduksi mobil buatan dalam negeri, sebuah mobil listrik. Namun, dia kini ditahan oleh Kejaksaan Agung atas kasus mobil listrik.
Pengamat ekonomi politik Universitas Indonesia, Faisal Basri, di blog pribadinya, faisalbasri01.wordpress.com, pada Selasa (28/7/2015), menuliskan pemikirannya tentang Dasep dengan judul "Dasep Ahmadi: Inovator yang Jadi Tersangka".
Dalam tulisannya itu, Faisal mencoba memahami apa yang terjadi. Faisal memandang bahwa Dasep adalah seorang nasionalis.
Di tengah keterbatasan dan dukungan dari pemerintah, menurut Faisal, Dasep tetap berjuang merampungkan produksi mobil listrik. Impian Dasep bak gayung bersambut tatkala Dahlan Iskan, Menteri BUMN ketika itu memberikan dukungan terhadap Dasep.
Namun, ironis, pada saat uji coba, mobil listrik yang dihasilkan tak kuat menanjak dan cepat panas. Dengan alasan ini, dugaan korupsi mobil listrik pun berembus.
Fasial menyayangkan dan bersikap kritis dalam tulisannya. "Apa aparat Kejaksaan Agung tidak pernah menonton laga F1 yang pebalap-pebalapnya sering mengalami berbagai macam masalah mesin sampai ban sehingga harus keluar dari sirkuit? Padahal mobil-mobil itu dibuat oleh pabrik mesin atau pabrik mobil terkemuka di dunia," tulis Faisal.
Dalam tulisannya, Faisal juga mengatakan, dirinya sangat yakin bahwa Dasep tidak mengambil keuntungan dari tantangan yang diberikan kepadanya. Berikut nukilan lengkap tulisan Faisal Basri, dikutip Kompas.com, Kamis (30/7/2015).
"Saya mengenal Dasep sudah cukup lama. Ia sosok nasionalis sejati. Ingin melihat negerinya maju lewat akselerasi industrialisasi. Beragam komponen otomotif sudah dia hasilkan. Dengan darah dan keringat, nyaris tanpa bantuan pemerintah.
Malahan, pemerintah kerap “menggangu” derap langkahnya. Dengan keterbatasan industri penunjang, Dasep berjibaku bersaing dengan komponen otomotif impor yang bebas bea masuk. Padahal, komponen yang dihasilkan Dasep butuh bahan baku impor yang dikenakan bea masuk sekitar 5 persen sampai 15 persen. Ia pun harus membayar PPN impor dan PPh bayar di muka. Berarti, Dasep harus menyediakan modal kerja lebih banyak ketimbang importir. Modal kerja yang Dasep pinjam dari bank bunganya belasan persen.
Kalau Dasep hendak melindungi produknya agar tidak gampang dijiplak, ia harus mendaftarkan produknya agar dapat hak paten. Belum lagi kalau hendak mendapatkan SNI. Semua pakai ongkos yang tidak murah. Butuh waktu yang lama pula.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.