Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Komisi VI: Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Kritis Selama Setahun Terakhir

Kompas.com - 20/10/2015, 12:46 WIB
Dani Prabowo

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua Komisi VI DPR Heri Gunawan mengatakan, pertumbuhan ekonomi Indonesia berada pada tataran kritis selama satu tahun kinerja pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla.

Menurut dia, ada enam parameter yang menjadi penilaian hal tersebut.

"Slogan 'Kerja, Kerja, Kerja' yang menjadi semboyan pemerintah, belum mampu memberi arti yang signifikan. Masih banyak rapor merahnya," kata Heri kepada Kompas.com, Senin (19/10/2015).

Parameter pertama, pertumbuhan ekonomi nasional yang terus tertekan. Politisi Partai Gerindra itu merujuk pada data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyebut pertumbuhan ekonomi hanya sekitar 4,7 persen.

Kondisi itu merupakan yang terburuk selama lima tahun terakhir.

Kedua, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) meningkat 300.000 orang atau sebesar 0,81 persen berdasarkan data BPS. Kondisi itu diperparah dengan bertambahnya jumlah pengangguran akibat buruknya kinerja ekonomi hingga triwulan III 2015.

"Padahal, jumlah orang yang butuh pekerjaan terus bertambah 3 juta orang," kata dia.

Kemudian, laju pertumbuhan inflasi Indonesia tinggi. Berdasarkan analisis dari Indonesia for Global Justice (IGJ), proyeksi inflasi yang ditetapkan sebesar 4,4 persen. Namun, pada Mei 2015, laju inflasi mencapai 7,15 persen.

Pertumbuhan inflasi tak hanya dirasakan masyarakat di perkotaan, tetapi juga pedesaan. Faktor terbesar kenaikan inflasi itu, kata dia, disebabkan kenaikan harga BBM bersubsidi.

Faktor ini yang menjadi penyebabnya yaitu kenaikan harga sembako seperti beras, bawang dan daging.

"Gejala seperti ini seharusnya menjadi pelajaran penting bagi pemerintah untuk lebih banyak mendengar dan tidak terburu nafsu membuat kebijakan, yang ujung-ujungnya, mengorbankan rakyat kecil," ujarnya.

Parameter selanjutnya yakni menurunnya nilai tukar petani dan nelayan. Kenaikan harga BBM memberikan kontribusi besar terhadap anjloknya nilai tukar nelayan yang mencapai 102,97 poin.

Hampir 80 persen biaya melaut berasal dari komponen BBM. Parameter kelima yakni realisasi investasi terbilang minim, yakni di bawah 2 persen pada pertumbuhan PDB.

Bahkan, masuknya investasi asing tidak diikuti dengan penyerapan tenaga kerja. Serapan tenaga kerja berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), menurun sekitar 50.000 pada triwulan lalu.

"Parameter keenam, utang luar negeri membengkak. Sampai triwulan kedua 2015, utang luar negeri membengkak di atas 300 miliar dollar AS, terdiri atas utang untuk sektor publik sebesar 134,6 miliar dan sektor swasta 169,7 miliar," ujarnya.

Ia menambahkan, jika persoalan utang itu tak kunjung diselesaikan, dikhawatirkan akan menggerus cadangan devisa hasil ekspor yang sangat kritis. Terlebih, kata dia, kinerja ekspor pemerintah buruk.

Terpisah, Ketua Komisi VI DPR Hafisz Tohir mengatakan, pemerintah perlu menggenjot kinerja ekspor nasional untuk seluruh sektor, kecuali minerba. Namun sebelumnya, pemerintah perlu melihat potensi pasar nasional yang dapat diekspor ke luar negeri.

"Maka itu saya dalam raker dengan Mendag selalu menyampaikan, satu-satunya alat anda untuk memperkuat devisa kita yaitu memperkuat ekspor," kata Hafisz di Kompleks Parlemen.

Ia mencontohkan, pasar nanas di Eropa dan Amerika Serikat cukup menjanjikan. Masyarakat di negara kawasan itu disebut sangat menyukai nanas. Namun, mereka tidak memproduksinya.

"Apapun yang bisa kita jual, kita jual. Orang suka nanas, kita ekspor nanas. Bule suka makan itu," kata dia.

Lebih jauh, Hafisz mendukung, program perbaikan infrastruktur yang kini sedang digenjot pemerintah. Namun, ia meminta, agar pemerintah tidak melupakan aspek konsumsi masyarakat.

"Nah ini buktinya mau impor beras, artinya dalam hal itu saja kita sudah gagal untuk menjadi negara yang memiliki ketahanan pangan," tandasnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com