Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Nasib Si Recehan, Tak Bernilai di Tangan Bangsanya Sendiri

Kompas.com - 30/11/2015, 15:41 WIB
Kontributor Medan, Mei Leandha

Penulis

Fenomena memandang sebelah mata terhadap receh rupiah itu diakui oleh dosen Fakultas Ekonomi UIN Sumatera Utara, Gunawan Benjamin.

Dia menyebutkan, masyarakat seolah tidak bisa menggunakan uang recehan untuk melakukan transaksi. Padahal, uang receh berguna dalam pembentukan harga barang dan masih diberlakukan.

"Rp 100 atau Rp 200 uang kembalian ini memang ribet, tetapi tetap bermanfaat karena menjadi satuan harga yang tetap memiliki dampak besar pada peningkatan laju tekanan inflasi," ucap dia, Sabtu (28/11/2015) petang.

"Memang kondisi ini membuat pedagang, khususnya di pasar modern, kesulitan untuk mengembalikan uang recehan itu sendiri. Kalau uang recehan kita hapuskan, tentunya sulit karena mungkin sekali transaksi dengan recehan masih dibutuhkan dalam pembentukan harga. Pasar modern banyak yang memanfaatkan selisih harga dengan satuan recehan tersebut untuk menarik peminat," katanya.

Dia mengatakan, jika pasar modern masih menyajikan harga dengan recehan, sebaiknya transaksi secara elektronik diberlakukan. Pembayaran secara elektronik bisa menjadi salah satu jalan untuk menghindari pengembalian dengan permen, pembulatan, atau untuk disumbangkan.

Selain itu, dia juga mengusulkan agar pasar modern ditekankan untuk membulatkan harga sehingga tidak ada banderol harga dengan nilai pecahan.

"Sebaiknya BI mengeluarkan regulasi harga bulat dengan recehan minimal Rp 500 atau mereka diwajibkan untuk menggunakan pembayaran secara elektronik," ujarnya.

Kepala Divisi Sistem Pembayaran Bank Indonesia wilayah Sumatera Utara Darmadi Sudibyo mengatakan,  pengadaan recehan rupiah merupakan salah satu bentuk kewajiban BI kepada masyarakat.

"Banderol harga produksi, mereka yang menentukan. Kita tentu harus melihat kebutuhan dari dua sisi. Dari sisi industri, artinya merchant pedagang itu seperti apa, dan juga harus menjembatani kita, dia perlu kembalian, dan seterusnya," kata Darmadi.

Pecahan bernominal kecil untuk menjawab transaksi yang memerlukan kembalian uang kecil. "Ini jamak di negara mana pun. Sen-sen-an itu ada. Harapannya, dua-duanya, yang jelas, ini untuk menjawab transaksi yang ada di publik, yang ada di masyarakat," ucapnya.

Dia pun mengecam adanya pedagang atau pelaku usaha yang menolak pembayaran dengan uang recehan. 

"Mestinya mereka harus terima sebagai alat pembayaran yang sah. Di tataran praktik, mereka tidak boleh menolak bahwa sebagai alat pembayaran yang sah, rupiah harus diterima dalam bentuk apa pun," tambah laki-laki berkacamata itu.

"Rupiah harus diterima sebagai alat transaksi, pembayaran yang sah. Rupiah adalah legal. Kembali ke publik dan pelaksanaannya di lapangan, saya kok belum pernah dengar ada kasus atau pelanggaran soal ini," katanya lagi.

Dia mengatakan, BI sudah memberikan sosialisasi dan imbauan soal transaksi menggunakan rupiah.

"Upaya diseminasi itu terus dilakukan, lewat semua media. Juga sudah ada aturannya, setiap undang-undang punya asas publisitas. Semua orang dipandang paham dan mengerti, dan ini adalah legal aspect. Menjadi kewajiban bagi masyarakat untuk menggunakan rupiah selama berada di wilayah Indonesia. Ini tinggal soal pemahaman," ujarnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com