Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Membaca Stiglitz di Era Jokowi

Kompas.com - 24/02/2016, 07:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

Dalam pembacaan lebih detail dalam catatan tahun 2003-2010 tertera bahwa tingkat konsumsi per-orang dari 10% warga terkaya di Indonesia naik sebesar 6% pertahun setelah mengalami penyesuaian inflasi, sementara 40% konsumsi perorang dari warga termiskin dalam periode yang sama naik kurang dari 2% pertahun.

Gambaran ironis ini ditambah dengan kenyataan pahit bahwa dalam hitungan statistik ekonomi Indonesia pada tahun 2015 tercatat 10% orang terkaya memiliki 77% kekayaan di negeri ini, sementara 1% orang terkaya memperoleh kue pembangunan sebesar 50%.

Artinya 90% lapisan mayoritas orang Indonesia hanya berbagi sekitar 23% hasil pembangunan di negeri kita.

Seperti halnya yang berlangsung di AS seperti dikemukakan oleh Stiglitz, praktik-praktik rent seeking (perburuan keuntungan) tanpa konsekwensi pada daya dorong ekonomi produktif menjadi pola-pola relasi ekonomi-politik yang berlangsung di negeri kita.

Apabila di Amerika Serikat praktik-praktik rent seeking berlangsung melalui kuatnya lobby pengusaha-penguasa yang berimplikasi pada kebijakan negara yang pro-orang terkaya, pada konteks Indonesia akumulasi kekayaan dari mereka yang sangat diuntungkan berlangsung melalui dari praktik-praktik korupsi dalam relasi bisnis-politik di negeri kita.

Kombinasi antara desain pasar bebas tanpa batas (neoliberalisme) dan pola-pola relasi kekuasaan oligarkhis-predatoris merupakan desain yang mematikan bagi mati surinya berkah pembangunan di Indonesia sekaligus sumber dari ketimpangan sosial.

Apabila diabstraksikan maka formula neoliberalisme plus oligarkhi selama satu dekade terakhir  dapat terformulasikan dalam:

Pertama, arahan pembangunan yang lebih menekankan pada pemotongan anggaran publik, ekspansi investasi modal yang tidak sensitif terhadap keseimbangan ekologis dan pemerataan pembangunan seperti program MP3EI.

Kedua, praktik kebijakan publik kita terbelenggu oleh pertarungan dan negosiasi diantara aliansi kekuatan sosial bisnis-politisi yang menguasai institusi publik, anggaran maupun akses atas kebijakan bagi kepentingan kelompok mereka sendiri. 

Pada akhirnya ketimpangan sosial tidak hanya merugikan kaum miskin, namun juga menghambat kemajuan tatanan ekonomi itu sendiri. Ketimpangan sosial yang tinggi akan melemahkan kohesifitas sosial, mengikis social trust (kepercayaan sosial), dan mendorong ketidakstabilan politikdapat mengganggu tumbuhnya investasi.

Di sisi lain ketimpangan sosial juga mengurangi mobilitas sosial dari masyarakat Indonesia. Seiring melemahnya daya tahan ekonomi masyarakat banyak, semakin lemah kemampuan mereka mengakses sektor-sektor vital bagi terbukanya peluang mobilitas sosial seperti pendidikan.

Dengan melemahnya akses pada sektor pendidikan berkualitas bagi rakyat banyak, maka semakin sempit harapan tatanan ekonomi di negeri ini memberikan peluang bagi kesetaraan kesempatan dalam memenuhi hajat hidup warganya. 

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com