Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Muhammad Fajar Marta

Wartawan, Editor, Kolumnis 

Bunga Kredit Single Digit dan Hambatan Psikologis Bank Sentral

Kompas.com - 14/03/2016, 17:39 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

Sumber : BPS, BI

Persoalannya, rentang tersebut tergolong besar dibandingkan negara-negara berkembang lain yang setara Indonesia.

Di Thailand, Malaysia, dan Filipina, dalam 5 tahun terakhir, rentang antara inflasi dan suku bunga acuan rata-rata hanya 50 basis poin.

Sementara dalam periode yang sama, spread di Indonesia rata-rata 250 basis poin.

Jadi, ada kelebihan spread sekitar 200 basis poin di Indonesia dibandingkan negara-negara yang setara dengan Indonesia.

Bank Indonesia Perbandingan suku bunga acuan
Bank Indonesia (BI) kerap beralasan rentang itu harus dijaga agar investor asing di pasar keuangan Indonesia dan deposan lokal tidak melarikan dananya ke luar negeri.

Kondisi tersebut menunjukkan, bank sentral lebih mementingkan deposan besar dan masuknya dana asing ketimbang kepentingan sektor riil di Indonesia.

Dengan kata lain, BI kurang percaya diri terhadap perekonomian Indonesia.

Padahal, belum tentu, deposan dan dana asing bakal lari jika spread dikurangi.

Kalaupun dana asing yang sering disebut hot money itu kabur dari Indonesia, juga tidak perlu terlalu khawatir.

Alasannya, kedatangan hot money selama ini kurang bermanfaat bagi pertumbuhan ekonomi karena tidak menyentuh sektor riil yang bisa menyerap tenaga kerja.

Masuknya dana asing memang bisa memperkuat rupiah. Namun penguatan yang terjadi bersifat semu karena tidak didukung faktor fundamental perekonomian.

Masuknya hot money ibarat hanya mempercantik pasar modal dan kurs rupiah secara semu.

Jadi, rentang inflasi inti dan BI rate yang terlampau tinggi inilah sebenarnya yang menjadi biang keladi mengapa bunga kredit di Indonesia begitu tinggi.

Andaikan spread di Indonesia Indonesia disamakan dengan negara-negara tetangga yakni 50 basis poin, maka BI rate bisa turun secara signifikan.

BI rate yang saat ini sebesar 7 persen, bisa diturunkan ke level 5 persen.

Apabila BI rate turun 200 basis poin, maka dalam transmisinya, suku bunga dana juga akan turun 200 basis poin. Begitu pula dengan bunga kredit.

Artinya, bunga dana deposito yang saat ini sebesar 7,51 persen, bisa turun ke level 5,51 persen. Sementara bunga kredit ritel yang saat ini sekitar 11,57 persen, akan turun ke level 9,57 persen, yang berarti sudah masuk level single digit.

Jika bunga kredit bisa di level satu digit, seperti yang diharapkan Wapres Jusuf Kalla, maka roda perekonomian di Indonesia bisa berputar lebih cepat.

Sebab, sektor riil bisa mendapatkan pinjaman modal yang lebih murah. Begitu pula dengan UMKM yang selama ini tercekik tingginya bunga kredit.

Jadi, persoalan utama tingginya suku bunga kredit di Indonesia bukanlah karena bank tidak efisien atau ulah korporasi yang meminta bunga deposito tinggi.

Persoalan utamanya adalah kurang percaya dirinya BI untuk menurunkan BI rate secara signifikan.

Kekurangpercayaan diri tersebut merupakan hambatan psikologis yang seharusnya tidak boleh mengganggu perekonomian.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com