JAKARTA, KOMPAS.com — Otoritas moneter diminta menyusun regulasi berisikan kebijakan disinsentif bagi perbankan yang tidak menjalankan peran intermediasi, dan hanya menaruh dana-dananya di surat utang pemerintah.
Bank macam itu biasa disebut sebagai bank yang malas (lazy banking).
Kebijakan disinsentif diharapkan dapat mendorong penyaluran kredit perbankan ke sektor riil.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto mengungkapkan, laju pertumbuhan kredit sejak 2013 terus menunjukkan tren penurunan.
Bahkan, Bank Indonesia (BI) mencatat pertumbuhan kredit per Mei 2016 hanya mencapai 8,3 persen.
"Jadi, ini anomali, pemerintah inginnya single digit bunga kredit. Namun, yang terjadi justru single digit pertumbuhan kredit," katanya dalam sebuah diskusi di Jakarta, Senin (1/8/2016).
Dia menambahkan, suku bunga tunggal yang diinginkan pemerintah belum terealisasi.
Hal itu dilihat dari rata-rata suku bunga dasar kredit (SBDK) per akhir Mei 2016 masih mencapai double digit.
SBDK kredit korporasi sebesar 11,04 persen, kredit ritel sebesar 12,01 persen, bahkan kredit mikro lebih tinggi lagi, mencapai 14,31 persen.
"Ini menunjukkan bahwa tantangannya berat. Kenapa berat? Ternyata sektor perbankan ngerem. Di mana ngerem-nya? Ada peningkatan kredit macet," imbuhnya.
Eko menuturkan, perbankan ngerem penyaluran kredit karena rasio kredit macet atau non-performing loan (NPL) yang memburuk.
Rasio NPL per Mei 2016 tercatat masih tinggi rata-rata 3,1 persen dari total kredit yang disalurkan.
Di sisi lain, pemerintah dengan agenda besar infrastrukturnya terus-terusan mengeluarkan surat utang dengan coupon rate yang menarik, lebih tinggi dari bunga deposito.
Akibatnya, karena menyalurkan kredit ke sektor riil dianggap masih berisiko, akhirnya perbankan lebih memilih menempatkan dananya di Surat Berharga Negara (SBN).
Hal itu terlihat dari tren kepemilikan SBN oleh perbankan yang terus meningkat sejak Desember 2012.
Per akhir Desember 2012, kepemilikan SBN oleh perbankan sebesar Rp 299,66 triliun, dan terus meningkat menjadi Rp 462,62 triliun per April 2016.
"Juni kemarin sedikit turun menjadi Rp 361,54 triliun. Ini harapannya terus turun agar aktivitas perbankan itu bukan hanya di lazy banking. Jadi, cuma naruh uang, diam, dapat untung. Jadi, tidak menyalurkan ke sektor riil sebagai fungsi intermediasi," ujar Eko.
Sebagai solusi untuk meningkatkan peran perbankan dalam mendorong aktivitas sektor riil, Eko berharap otoritas moneter memberikan disinsentif bagi aktivitas lazy banking tersebut.
"Menurut saya, otoritas moneter perlu merumuskan regulasi yang mendorong supaya perbankan mau terjun ke riil, tidak hanya memburu untung dari selisih bunga," ucapnya.
Dalam kesempatan sama, pengusaha yang juga anggota Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN), Benny Soetrisno, pun berharap agar perbankan mau meningkatkan penyaluran kredit, utamanya untuk mendorong sektor manufaktur.
"Kita kalau mau kredit rumah yang mewah dikasih, kredit kendaraan bermotor yang mewah dikasih, tetapi kredit untuk membeli alat-alat pabrik yang tidak seberapa harganya kenapa dipersulit," ucap Benny.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.