Maka wajar kalau ada satu dua "antek-antek" mereka yang kecewa. Campaign mereka sesekali masih kita baca di sosial media, sambil menggunakan satu dua anak muda kita yang mudah didekati.
Padahal kalau orang asing yang mengerjakan, biayanya amat mahal dan banyak juga kekurangannya. Dan harap maklum, hampir setiap kali para CEO bandarudara itu datang, mereka mengatakan, hari ini hampir mustahil mengerjakan pembangunan bandara sendiri. Mereka amat terbiasa dibantu ahli dari manca negara.
Wakil presiden Jusuf Kalla masih ingat betul saat kami temui minggu lalu. "Karena yang bangun orang Eropa, dulu tangganya pun tangga orang Eropa. Tinggi-tinggi," ujarnya. Setelah itu, jelas butuh perombakan, biaya lagi.
Selain itu, mereka bisa salah memahami budaya kita. Seorang teman yang terlibat dalam periode pembangunan menceritakan bagaimana bangunan berupa joglo itu dicat merah pada bagian dalamnya.
Lantas atas perintah Presiden Soeharto, iapun diminta menyiapkan pilihan-pilihan warna dan presiden memilih warna coklat. Maka biaya lagi.
Tetapi waktu berjalan, kita terbiasa melihat bandara luar negri yang lampunya terang benderang. Warna coklat pada dinding belakangan diketahui turut menyumbang suasana muram di dekat pintu keberangkatan dan kedatangan. Padahal lampu-lampu interior baru yang lebih terang sudah dipasang, perubahannya tak banyak.
Akhirnya dipilih warna putih. Kini banyak yang merasa sinarnya lebih terang, dan banyak yang senang. Tetapi ada yang protes bahwa ini melanggar kaedah arsitektur. "Karena bangunannya pendopo, maka dindingnya harus coklat," ujarnya.
Padahal, kalau Anda pergi ke kraton Jogja, temboknya ya putih dan hijau. Bukan coklat. Begitulah citarasa, selalu ada perbedaan pandangan.
Selain itu, banyak orang yang tak menduga, krisis moneter yang dialami bangsa ini pada tahun 1997-1998 ternyata menjadi momentum penting bagi lonjakan penumpang udara.
Jumlah penumpang kita yang terbang dari bandara soekarno Hatta melonjak dari sekitar 15 jutaan ke 60 jutaan.
Krisis memicu datangnya low cost carrier dengan business model yang amat berbeda dengan Garuda Indonesia sehingga selain menguntungkan, mereka juga menciptakan pasar baru bagi kelas menengah baru.
Namun harap maklum, masalah baru, termasuk pelayanan, space terminal dan keamanan bermunculan.
Karena kebutuhan infrastruktur kita seringkali distimulasi oleh asing, maka hanya asinglah yang berhasil mendulang opportunity dan membangun infrastruktur besar di negri ini. Kita menjadi terlena, timbul kebiasaan menunggu atau meminta bantuan asing datang dan seringkali juga merasa tidak mampu.
Demikianlah begitu lonjakan penumpang datang, sebagian besar kita hanya bisa meminta bantuan pada bandar-bandara militer ketimbang membangun sendiri bandara sipil. Uang hasil pertambangan migas kita menguap begitu saja bertahun-tahun.
Baru belakangan ini pemerintah serius membangun bandara dan pelabuhan dengan me-leverage keuangan perusahaannya sendiri dan melalui sinergi BUMN. Maka, jangan heran kalau banyak terminal udara kita yang dudah sumpek, padat dan jelas butuh perluasan.