Oleh Rudiyanto
"Window dressing" adalah fenomena di pasar modal dimana terdapat kecenderungan harga saham selalu meningkat pada akhir tahun yaitu pada bulan Desember. Apakah hal ini berarti bulan Desember merupakan saat yang tepat untuk memulai investasi reksa dana, khususnya reksa dana saham?
Window dressing bukanlah fenomena yang hanya terjadi pasar modal. Dalam dunia usaha, istilah ini juga sering dijumpai. Sebagai contoh, menjelang akhir tahun biasanya selalu ada diskon besar-besaran di pusat pertokoan. Hal ini ditujukan agar penjualan dapat meningkat.
Diskon tersebut diharapkan dapat mengangkat penjualan sehingga laporan keuangan pada saat penutupan akhir tahun menjadi bagus. Laporan penjualan yang bagus juga akan menjadi salah satu alasan penguatan harga saham.
Window dressing juga terjadi dalam dunia manajer investasi. Sebagai pengelola yang dinilai berdasarkan kinerja tahun per tahun, tentu para manajer investasi berharap kinerja reksa dana dapat ditutup dengan gemilang pada tahun tersebut.
Yang sudah baik akan dipertahankan dan yang masih kurang akan ditingkatkan semaksimal mungkin sehingga laporan kinerja reksa dananya dapat terlihat baik pada akhir tahun nanti.
Kombinasi dari semua faktor di atas membuat fenomena pada akhir tahun, khususnya pada bulan Desember kinerja saham cenderung akan meningkat sehingga dikenal dengan istilah window dressing.
Secara statistik, dengan asumsi bulan Desember tidak pernah rugi, window dressing dapat dikatakan juga terjadi di Indonesia. Berdasarkan data 15 tahun terakhir dari tahun 2001 hingga 2015, investasi IHSG pada bulan Desember tidak pernah rugi.
Untuk lebih lengkapnya silakan lihat tabel berikut :
Secara rata-rata besaran return IHSG mencapai 4,5 persen, tertinggi di 12,12 persen dan terendah sebesar 0,42 persen dalam 1 bulan. Memang tidak ada jaminan bahwa sejarah akan terulang, tapi paling tidak bisa dijadikan sebagai salah satu referensi dalam berinvestasi.
Efek Dari Presiden Amerika Serikat
Terus terang terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat sedikit banyak mempengaruhi minat investasi. Apalagi ditambah dengan penurunan IHSG 4,01 persen pada tanggal 11 November 2016 yang lalu atau 3 hari pemilihan yang dilakukan pada 8 November lalu.
Meski bukan pertama kalinya dan juga bukan merupakan yang terdalam, penurunan hingga 4 persen juga bukan sesuatu yang sering terjadi di pasar modal. Selain itu, terdapat juga wacana kenaikan suku bunga The Fed pada bulan Desember. Untuk itu menjadi wajar, jika ada investor yang merasa khawatir.
Namun jika kita hanya berfokus pada angka, pada kenyataannya perjalanan IHSG selama 15 tahun terakhir juga bukannya mulus tanpa tantangan sama sekali. Mulai dari krisis dotcom buble tahun 2000 dan krisis subprime mortgage tahun 2008 di Amerika, krisis utang di Eropa dari tahun 2012, harga minyak hingga 100 dollar AS per barrel, Devaluasi Yuan di China, British Exit hingga berbagai kejadian lainnya.
Dalam semua kondisi di atas, IHSG tetap naik pada bulan Desember. Bisa jadi hal ini juga bisa menjadi indikator bahwa siapapun Presiden AS, kelihatannya tidak akan berdampak terhadap kinerja saham pada bulan Desember.
Pada akhirnya, naik atau turunnya saham Indonesia adalah lebih tergantung pada fundamental perekonomian Indonesia. Yang dimaksud dengan fundamental adalah kinerja penjualan dan laba bersih korporasi serta pertumbuhan ekonomi Indonesia secara keseluruhan.
Apabila hal yang sifatnya fundamental tersebut tumbuh positif, maka dalam jangka panjang kinerja saham juga akan mengikuti. Efek dari luar negeri biasanya hanya bersifat sentimen sementara sehingga tidak perlu dikhawatirkan. Malahan, penurunan dalam karena sentimen sementara ini bisa dimanfaatkan sebagai momentum untuk berinvestasi di harga yang rendah.
Demikian artikel ini, semoga bermanfaat.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.