JAKARTA, KOMPAS.com – Terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) ke-45 telah mengubah ekspektasi pasar terhadap pemulihan ekonomi negeri Paman Sam itu.
“Sebelum ada pemilu Presiden, ekspektasinya kondisi AS lebih baik. Tetapi dengan terpilihnya Trump, dinamikanya berubah,” kata ekonom PT Mandiri Sekuritas Leo P Rinaldy di Jakarta, Kamis (22/12/2016).
Ketidakpastian kembali terjadi lantaran janji-janji kampanye Trump dinilai cukup kontroversial. Di sisi lain Trump belum pernah menjadi policy maker.
Leo memperkirakan ketidakpastian di pasar keuangan akan terus terjadi sampai hari pelantikan 20 Januari 2017.
“Trump belum pernah menjadi bagian dari Kongres Amerika Serikat, atau Senat Amerika Serikat,” kata Leo.
Padahal, imbuhnya, beberapa kebijakan pemerintah AS juga perlu melibatkan pertimbangan dari kongres maupun senat.
Di sisi lain, Leo melihat ada sejumlah kebijakan yang kontradiktif dan membuat pasar meragukan apakah janji-janji kampanye Trump akan benar-benar dilaksanakan.
Misalnya saja, Trump dalam kampanyenya mengatakan akan menerapkan kebijakan proteksi perdagangan dengan menerapkan tarif tinggi.
Padahal dalam kampanyenya juga, ia berencana lebih agresif untuk pembangunan. Apabila perdagangannya lebih protektif, dan di sisi lain pemerintahnya ingin menggenjot pembangunan maka pemerintah AS akan menerbitkan obligasi lebih banyak lagi untuk membiayai fiscal spending.
Masalahnya, bonds holder terbesar Amerika Serikat adalah China. "Jadi ini kan paradoks. Makanya pada akhirnya menurut saya, kebijakan ekonomi enggak mungkin ekstrim ke kanan. Pendulumnya mungkin akan bergerak ke tengah," ucap Leo.
Lantas, jika Trump melaksanakan janji kampanyenya atau tidak melaksanakan janji kampanyenya, apa dampaknya terhadap perekonomian Indonesia?
Leo memastikan dampak fundamentalnya sangat kecil. Hanya pasar keuangan saja yang akan mengalami gejolak.
Selebihnya, ada plus-minus apabila Trump benar-benar merealisasikan janjinya. Misalnya, soal Trans Pacific Partnership (TPP) Agreement.
"Yang paling kena kalau TPP dihilangkan itu Vietnam. Malah, kalau TPP hilang, playing field Indonesia (dengan Vietnam) lebih sama," ujar Leo.
Hal lain yang menurutnya membuat Indonesia tidak terlalu khawatir terhadap Trump adalah kebijakan proteksi perdagangan.
Jika kebijakan ini dilakukan, maka negara yang benar-benar terpukul adalah China. Sembilan bulan pertama tahun ini, surplus perdagangan China ke AS mencapai 281 miliar dollar AS.
Bagaimana dengan Indonesia terhadap AS? Hanya 8,74 miliar dollar AS. "Jadi kalaupun ada proteksionisme, menurut saya Indonesia tidak akan menjadi prioritas AS. Karena yang diproteksi itu biasanya negara yang surplusnya besar," ucap Leo.
Terkait dengan perdagangan internasional, pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga tahun ini pun masih domestic driven, atau didorong oleh sumber-sumber pertumbuhan dalam negeri.
Kontribusi konsumsi rumah tangga masih mencapai 53,7 persen. Kedua terbesar adalah pengeluaran pemerintah yang mencapai 8 persen, dan barulah disusul ekspor-impor dengan kontribusi sebesar 1,4 persen.
"Jadi wajar kalau market bilang, Indonesia itu terkena impact paling kecil dari kebijakan Trump," ujar Leo.
Terakhir, investasi asing langsung (FDI) dari Amerika Serikat sudah minimal. Pada 2010, Amerika Serikat menduduki peringkat kedua sumber FDI Indonesia.
Namun pada tahun ini sudah tersingkir ke urutan 8. Sebaliknya, peringkat China terus naik, dari nomor 10 pada 2010 menjadi urutan runner up pada tahun ini.
"Makanya, dari sisi fundamental impact-nya lebih besar China. Ada impact dari AS, tetapi hanya ke gejolak pasar keuangan," pungkas Leo.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.