Indonesia juga bukan mitra dagang utama Arab Saudi. Berdasarkan data BPS, ekspor Indonesia ke Saudi hanya sekitar 3,75 miliar dollar AS per tahun atau setara Rp 48,75 triliun. Nilai itu hanya seperlima ekspor Indonesia ke AS.
Aramco
Salah satunya, mereka akan melobi pemerintah Indonesia untuk membeli saham BUMN utama mereka yakni Saudi Aramco melalui mekanisme go public atau initial public offering (IPO). Mereka juga menawarkan saham Aramco ke Malaysia, Jepang, dan China.
Kerajaan Arab Saudi rencananya akan melepas 5 persen saham Aramco, yang merupakan perusahaan terbesar di dunia dari sisi aset yang ditaksir mencapai 2 triliun dollar AS atau sekitar Rp 26.000 triliun rupiah atau 26 kalinya aset PLN, perusahaan terbesar di Indonesia.
Dari IPO tersebut, negeri padang pasir itu akan mendapatkan dana segar sebesar 100 miliar dollar AS atau sekitar Rp 1.300 triliun.
Selain untuk menutup defisit anggaran, sebagian besar dana tersebut akan digunakan untuk mentransformasi perekonomian Arab Saudi dengan mengurangi ketergantungan pada minyak. Negara teluk itu kemungkinan akan mulai berinvestasi pada sejumlah lapangan usaha.
Jika IPO mereka sukses, Saudi kemungkinan akan meningkatkan investasinya di Indonesia. Arab Saudi disebut-sebut akan menanamkan investasi sebesar 25 miliar dollar AS atau sekitar Rp 32,5 triliun pada sektor minyak dan gas, pariwisata, penerbangan, dan perumahan di Indonesia.
Di sektor migas, Saudi Aramco dan Pertamina menandatangani perjanjian pembentukan perusahaan patungan untuk proyek pengembangan kilang Cilacap Jawa tengah senilai 6 miliar dollar AS.
Kita berharap komitmen investasi Saudi tersebut dapat terealisasi sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia sekaligus menyerap tenaga kerja.
Namun yang pasti, perekonomian Indonesia ternyata tidak dipandang sebelah mata oleh dunia internasional. Bahkan, negeri Saudi yang kita anggap kaya raya pun meminta bantuan fulus kepada Indonesia meskipun sebenarnya Indonesia pun kekurangan fulus.