JAKARTA, KOMPAS.com - Industri perbankan nasional mengalami peningkatan rasio kredit bermasalah atau non-performing loan (NPL), khususnya pada tahun 2016 lalu.
Hal ini terjadi sejalan dengan perlambatan ekonomi global maupun domestik hingga anjloknya harga komoditas. Meskipun demikian, Bank Indonesia (BI) menilai, peningkatan rasio NPL yang terjadi adalah hal wajar.
Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara menjelaskan, peningkatan rasio NPL adalah suatu siklus bisnis yang tidak perlu diharamkan.
Pada kurun waktu 2013 hingga 2015, rasio NPL meningkat sejalan dengan anjloknya harga komoditasl seperti batu bara, kelapa sawit, dan karet. Kemudian, setahun kemudian ada perubahan kebijakan yang terjadi di Amerika Serikat.
"Hal yang wajar jika NPL naik, sebelumnya itu 2012 sekitar 1,5 persen sekarang 3,1 persen," kata Mirza di Jakarta, Rabu (5/4/2017).
Meskipun ada risiko peningkatan NPL, namun perbankan Indonesia memiliki pencadangan yang melebihi jumlah NPL-nya. Menurut Mirza, hal ini yang menyebabkan perbankan Indonesia masih dalam kondisi baik meskipun NPL meningkat.
"Cadangan itu sudah dipupuk, sekitar 104 persen dari jumlah NPL. Plus permodalan perbankan Indonesia pun dengan rasio permodalan 23 persen, jadi tidak perlu dikhawatirkan," ujar Mirza.
Selain itu, imbuh dia, perbankan Indonesia dipandang sudah siap untuk mendorong pertumbuhan lebih tinggi. Namun, ini tergantung pada pertumbuhan permintaan sektor riil.
"Demand dari sektor riil harus tumbuh, meski tidak bisa tumbuh langsung meroket tetapi pelan-pelan pertumbuhan kredit sudah ada," ungkap Mirza.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.