Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Yang Dibutuhkan Bukan Hanya Payung di Kala Hujan, Pak Presiden..

Kompas.com - 14/04/2017, 08:35 WIB
Estu Suryowati

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com – Kegelisahan hati Presiden Joko Widodo (Jokowi) teramat sangat lumrah, melihat deretan angka-angka yang menunjukkan betapa Indonesia masih kurang menarik dibandingkan China dalam menggaet minat investasi Arab Saudi.

Nilai komitmen investasi yang ditandatangani dalam nota kesepahaman antara pemerintah Indonesia dan Arab Saudi hanya sekitar 10 persen dari yang diteken antara pemerintah China dan Arab Saudi, dalam tur lawatan Raja Salman bin Abdulaziz al-Saud beberapa waktu lalu.

(Baca: China dan Saudi Teken Sejumlah Kesepakatan Bernilai Rp 866 Triliun)

“Investasi Arab ke Indonesia Rp 89 triliun. Tapi ya saya lebih kaget saat beliau ke China yang beliau tanda tangani Rp 870 triliun,” kata Presiden Jokowi mengungkapkan rasa kecewanya, di sela sambutannya di Pondok Pesantren Buntet, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Kamis (13/4/2017).

Padahal, seluruh Indonesia juga tahu, kita semua tahu, pemerintah memberikan sambutan luar biasa mewah untuk sang raja dan rombongan. Semua pelayanan kelas wahid disuguhkan.

Sementara itu, Presiden Jokowi juga memperlakukan Raja Salman dengan sangat hormat. Di Istana Bogor misalnya. Ketika guyuran hujan membasahi rombongan sang raja, mantan Gubernur DKI Jakarta itu memayungi Raja Salman agar tidak kehujanan.

Tak hanya itu saja, Presiden Jokowi pun sempat menjadi ‘sopir’ Raja Salman tatkala berkeliling istana. Ah, lagi-lagi kenangan ini membuat "baper", apalagi mengingat kenyataan hanya Rp 89 triliun yang bakal diinvestasikan.

“Itulah rasa kecewa saya, meski sedikit saja. Sangat sedikit, ya,” kata Jokowi.

(Baca: Kekecewaan Jokowi Usai Melihat Nilai Investasi Arab Saudi di China...)

Jadi, apa masalahnya, Pak Jokowi?

Ungkapan yang acapkali didengung-dengunkan oleh para ekonom tentang iklim investasi dan kepastian hukum itu nampaknya masih sangat relevan, di samping ketersediaan infrastruktur yang menjadi kunci penarik minat orang berinvestasi.

Lho, bukankah peringkat kemudahan berusaha di Indonesia sudah meningkat?

Ya benar. Kemudahan berusaha atau Ease of Doing Business (EODB) Indonesia tahun 2017 dalam rilis Bank Dunia berada di peringkat 91, jauh lebih baik dibandingkan setahun sebelumnya yang berada di peringkat 106.

Ada 10 indikator yang menjadi acuan penilaian Bank Dunia, termasuk di dalamnya rasio elektrifikasi atau kemudahan memperoleh sambungan listrik, serta kemudahan pembayaran pajak. Ambil saja satu, indikator kemudahan memperoleh sambungan listrik. Apakah indikator ini membaik?

Tentu. Perusahaan Listrik Negara (PLN) kini lebih modern dan go on-line. Untuk mendapatkan sambungan listrik, kini masyarakat tidak perlu lagi mendaftar ke kantor PLN. Mereka cukup melakukan registrasi melalui website pln.go.id atau pusat layanan PLN dengan nomor 123.

Tetapi, bagimana dengan indikator lain? Akan terlalu panjang kali lebar jika hanya untuk membahas seluruh indikator Bank Dunia.

Yang pasti, jika melihat perbandingannya dengan negara-negara di kawasan, apalagi dengan China, peringkat Indonesia meski membaik masih jauh di bawah mereka.

Dalam rilis sama, peringkat kemudahan berusaha China tahun 2017 berada di urutan ke-empat setelah Selandia Baru, Singapura, dan Hong Kong.

Menyusul di belakang China, ada produsen gelombang K-Pop, Korea Selatan. Bandingkan dengan Indonesia, peringkat 91.

Kemudahan Berusaha 

 

Terkait dengan kemudahan berusaha ini, sebenarnya ada satu hal penting yang membuat orang mau berinvestasi, yaitu kepastian hukum dan kepastian kebijakan. Namun, ini seperti barang langka yang ada di negeri ini.

“Jadi, tingkat risiko di Indonesia masih tinggi karena dukungan infrastruktur belum pasti. Ditambah lagi inkonsistensi kebijakan. Jangankan kepastian regulasi, kita (pemerintah) bikin kebijakan saja tidak konsisten,” kata Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance Enny Sri Hartati kepada Kompas.com, Jumat (14/4/2017).

Ambillah contoh di sektor andalannya Arab Saudi, yaitu sektor energi. Siapa yang tidak tahu bahwa payung hukum di sektor ini sering sekali berubah?

Di subsektor mineral dan batu bara (minerba) misalnya, regulasinya sering sekali berubah. Mungkin bahasanya sama, syaratnya juga kurang lebih sama. Cuma jangka waktunya saja yang diperpanjang untuk mengakomodasi perusahaan tambang besar. Begitu juga dengan subsektor minyak dan gas bumi (migas).

Negosiasi demi negosiasi yang alot antara pemerintah dan kontraktor di beberapa blok boleh jadi menjadi gambaran Arab Saudi betapa banyaknya yang harus dibuat bahagia dengan kehadirannya sebagai investor.

(Baca: Arab Saudi Susul Produsen Minyak Lain Bidik Investasi ke Indonesia, Terlambatkah?)

Padahal menurut Enny, Arab Saudi tidak membutuhkan semua kerumitan itu. Regulasi yang bolak-balik diubah oleh para pembantu Presiden itu menurut Enny seharusnya menjadi pelajaran, bahwa investor itu butuh kepastian.

Selain itu, masalah infrastruktur yang masih tertinggal jauh dibandingkan China, menurut Enny juga menjadi salah satu pertimbangan Arab Saudi berkomitmen lebih besar kepada Xi Jinping.

Dia melihat Arab Saudi ini tipe negara yang tidak mau repot, karena merasa memiliki banyak modal. Jadi, lumrah saja jika pilihannya adalah negara yang infrastrukturnya sudah jalan, sehingga apa yang ditanamkan segera berbuah.

(Baca: Indonesia dan Saudi, Siapa Membutuhkan Siapa?)

“Agama orang bisnis itu keuntungan. Kita sudah berada dalam kompetisi sempurna sekarang. Kalau Indonesia sudah berbangga diri dengan keunggulan sumber daya alam yang kita milik dan berhenti di situ, ya sudah pasti disalip semua negara,” katanya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com