Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Muhammad Fajar Marta

Wartawan, Editor, Kolumnis 

Utak-atik Utang dan Pajak Pemerintahan Jokowi

Kompas.com - 07/06/2017, 06:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorAprillia Ika

Dengan kondisi demikian, kecil kemungkinan pemerintah bisa melunasi utang-utang sebelumnya yang telah jatuh tempo. Akhirnya, pemerintah harus mencari utang lain untuk menutup utang-utang yang jatuh tempo tersebut. Gali lubang tutup lubang istilahnya.

Jadi setiap tahun, pemerintah harus mencari utang dengan nilai yang cukup besar, untuk menambal defisit dan untuk menutup utang lama.

Utang yang diperoleh pemerintah sebagian besar berasal dari penerbitan surat utang negara (SUN) atau obligasi negara dan sebagian kecil dari pinjaman luar negeri.

Jenis SUN yang diterbitkan pemerintah bermacam-macam. Ada SUN yang diterbitkan dalam denominasi rupiah yang ditujukan untuk masyarakat Indonesia, ada pula dalam denominasi asing untuk menyasar investor-investor global.

Ada SUN yang mekanismenya mengikuti tata cara syariah, yang disebut sukuk, ada pula SUN ritel yang ditujukan untuk investor-investor kecil.

Perpajakan

Besaran utang bisa saja ditekan  apabila penerimaan negara khususnya dari pajak sudah mencukupi. Namun persoalannya, penerimaan pajak pemerintah masih tergolong rendah.

Pada 2016, penerimaan pajak dan bea cukai hanya sebesar Rp 1.285 triliun, tumbuh hanya 3,6 persen dibandingkan penerimaan perpajakan tahun 2015 yang senilai Rp 1.240,4 triliun.

Pada 2017, pemerintah menargetkan penerimaan perpajakan sebesar Rp 1.498,9 triliun. Namun, target tersebut kemungkinan tidak akan tercapai. Pasalnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani, berdasarkan perhitungan terkini , memperkirakan penerimaan pajak pada akhir tahun akan sebesar Rp 1.484 triliun atau Rp 15 triliun lebih rendah dari target APBN 2017.

Secara umum, rasio pajak terhadap PDB (tax ratio) Indonesia pun sangat rendah. Bahkan sejak 2014, angkanya terus menurun. Pada 2016, tax ratio Indonesia sebesar 10,3 persen, turun dibandingkan akhir 2013 yang sebesar 11,9 persen.

Karena itulah, untuk menggenjot penerimaan pajak, pemerintahan Jokowi mengambil langkah terobosan yang bertujuan mengubah drastis sistem perpajakan Indonesia yakni program pengampunan pajak (tax amnesty) dan keterbukaan informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan.

Program tax amnesty diharapkan akan mendorong WNI membawa pulang dananya yang selama ini disimpan di luar negeri (repatriasi). Dengan tambahan likuiditas yang signfikan dari luar negeri, diharapkan roda perekonomian Indonesia bisa berputar lebih cepat. Hasilnya, perusahaan-perusahaan akan berkembang sehingga pajak yang mereka bayar pun akan meningkat.

Sayangnya, tujuan untuk mendorong repatriasi itu kurang berhasil. Dana repatriasi hanya mencapai Rp 147 triliun dari sekitar Rp 3.250 triliun aset WNI yang disimpan di luar negeri. Indonesia ternyata belum dipandang sebagai tempat bisnis yang nyaman oleh sebagian rakyat sendiri.

Berikutnya, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pengganti Undang-undang (Perppu) nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan.

Dengan Perppu ini, Ditjen Pajak sebagai otoritas pajak di Indonesia bisa mengakses langsung rekening wajib pajak di bank, asuransi, sekuritas, dan lembaga jasa keuangan lainnya.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com