Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Irvan Maulana
Direktur Center of Economic and Social Innovation Studies (CESIS)

Peneliti dan Penulis

Reformasi Benchmark Rate Syariah Pasca-Berakhirnya Era LIBOR

Kompas.com - 23/06/2022, 13:01 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

IMPLEMENTASI London Interbank Offered Rate (LIBOR) sebagai benchmark rate utama transaksi keuangan antarbank telah berakhir. Kini telah digantikan oleh suku bunga referensi alternatif bebas risiko (RFR).

Diskontinuitas LIBOR memunculkan urgensi untuk meningkatkan transparansi, akurasi, dan integritas dalam penentuan suku bunga acuan keuangan, termasuk keuangan syariah.

Untuk itu, reformasi dan inovasi referensi transaksi keuangan yang mencerminkan prinsip-prinsip Islam menjadi sangat penting.

Selama empat dekade, LIBOR digunakan sebagai suku bunga acuan transaksi keuangan antarbank internasional.

LIBOR juga digunakan sebagai suku bunga referensi pada transaksi derivatif suku bunga seperti interest rate swap dan cross currency swap.

Namun, efektif per 31 Desember 2021, LIBOR tidak lagi digunakan sebagai acuan pasar uang antarbank internasional dan digantikan oleh Secured Overnight Financing Rate (SOFR), yang dianggap sebagai suku bunga acuan lebih akurat, lebih aman, lebih transparan, dan lebih kompetitif.

Secara resmi, penggunaan LIBOR akan dihentikan secara total pada Juni tahun 2023 mendatang.

Mayoritas bank syariah juga menggunakan LIBOR, EURIBOR atau beberapa suku bunga acuan lainnya ketika menentukan harga produk keuangan syariah tertentu.

Bahkan, suku bunga acuan juga digunakan dalam produk sukuk dan produk derivatif syariah lainnya.

Instrumen keuangan syariah global berbasis utang termasuk produk perbankan, transaksi antarbank, dan sukuk berbasis LIBOR atau benchmark serupa bernilai dua triliun dolar AS (IFN, 2020).

Upaya menciptakan terobosan untuk mengembangkan referensi transaksi keuangan bebas risiko yang sesuai dengan prinsip syariah merupakan tonggak penting dalam penguatan daya saing industri keuangan syariah, terutama setelah penghentian LIBOR pada akhir 2021.

Standardisasi syariah pasar keuangan akan memperkuat pengelolaan likuiditas dan meningkatkan arus investasi untuk mendukung pertumbuhan ekonomi riil.

Meskipun The Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions (AAOIFI) memperbolehkan penggunaan indeks seperti LIBOR, atau indeks harga tertentu, sebagai dasar untuk menentukan margin transaksi syariah.

Namun, kontrak tersebut harus dibuat atas keuntungan tertentu tanpa perubahan apapun hingga berakhirnya kontrak transaksi.

Terlepas dari itu, meskipun menggunakan tolok ukur berbasis bunga diperbolehkan, tetapi kebolehan dalam konteks ini tidak selalu menyiratkan preferensi.

Transisi LIBOR telah menjadi faktor pendorong untuk mengembangkan benchmark rate syariah alternatif yang dapat menghindari ketergantungan pada tolok ukur konvensional berbasis bunga.

Malaysia, misalnya, berhasil menerbitkan Malaysia Islamic Overnight Rate (MYOR-i) yang merupakan suku bunga acuan Islam berbasis transaksi pertama di dunia, menggantikan Kuala Lumpur Islamic Reference Rate (KLIRR) yang telah dihentikan mulai 25 Maret 2022.

Tak hanya itu, Islamic Development Bank (IsDB) juga berhasil menerbitkan sukuk berbasis Secured Financed Overnight Rate (SOFR), sebuah perkembangan yang signifikan karena sebagian besar sukuk saat ini terkait dengan London Interbank Offer Rate (LIBOR) atau suku bunga acuan serupa.

Bahkan jauh sebelum itu, Islamic Interbank Benchmark Rate (IIBR) sempat menjadi satu-satunya benchmark rate syariah internasional yang diperkenalkan sejak tahun 2011 oleh Thomson Reuters, Islamic Development Bank (IsDB), dan AAOIFI.

Meskipun IIBR tidak berhasil diadopsi secara luas oleh semua bank syariah di dunia karena dianggap mirip dengan LIBOR, setidaknya IIBR memberikan titik awal yang baik, dan pelajaran berharga untuk industri keuangan syariah mampu memiliki benchmark rate secara independen.

Standardisasi benchmark rate syariah akan memperkuat ekosistem keuangan syariah secara holistik dan transparan sehingga akan memperdalam pasar keuangan syariah dalam negeri dan meningkatkan perannya dalam membiayai kegiatan ekonomi riil masyarakat.

Duffie dan Stein (2015) mengatakan bahwa reformasi benchmark rate syariah untuk transaksi antarbank atau transaksi keuangan lainnya, harus memenuh dua prinsip.

Benchmark harus didasarkan pada transaksi yang sebenarnya, bukan pada berdasarkan asumsi dan spekulasi pelaku pasar.

Selain itu, tolok ukur penetapan harga keuangan syariah juga harus didasarkan pada profil risiko usaha ekonomi riil, sehingga ia harus dikaitkan dengan produktivitas dan profitabilitas aset.

Reformasi benchmark rate syariah akan tercermin dalam suku bunga acuan dan model bisnis syariah ke depan, maka perlu langkah-langkah transformatif untuk mewujudkan benchmark rate syariah agar menjadi acuan transaksi keuangan syariah baik dalam negeri maupun internasional.

Pertama, transparansi harus menjadi prioritas utama dalam membangun benchmark rate baru, sebab tujuan akhir dari benchmark rate syariah adalah untuk terwujudnya sistem keuangan syariah yang adil serta mengurangi potensi konflik dalam sistem keuangan syariah.

Skandal dan manipulasi dalam penetapan acuan transaksi keuangan hanya akan merusak kepercayaan pasar.

Kedua, memperkuat transaksi rill melalui evaluasi manajemen likuiditas bank syariah. Pasar uang antarbank mendorong dalam memaksimalkan biaya peluang untuk uang menganggur (idle money), yang membenarkan konsep bunga atas uang.

Biasanya bank mengelola likuiditas menganggur mereka dengan meminjamkan ke bank lain untuk mendapatkan bunga. Tingkat LIBOR menentukan jumlah bunga untuk pinjaman antarbank.

Sebaliknya, keuangan syariah tidak memiliki pandangan yang sama tentang biaya peluang uang menganggur.

Untuk mendapatkan keuntungan, uang menganggur harus menjadi uang kerja melalui investasi dalam ekonomi riil dan tidak hanya ditempatkan pada bank lain untuk mendapatkan bunga.

Ketiga, semua pihak harus taat dalam masa transisi LIBOR ke suku bunga acuan alternatif, karena perlu banyak penyesuaian kontrak setelah penggunaan LIBOR dihentikan terutama kontrak keuangan syariah berbasis LIBOR.

Benchmark rate SOFR, JIBOR, INDONIA dan suku bunga acuan yang disepakati akan tetap menjadi pilihan bagi semua pelaku pasar ke depan, termasuk lembaga keuangan syariah.

Namun demikian, diperlukan peta jalan untuk mengembangkan benchmark rate khusus keuangan syariah, yang akan sangat relevan dengan transaksi pembiayaan syariah serta mempertimbangkan spesifikasi kontrak yang menjadi dasar transaksi tersebut.

Pada akhirnya, Islam tidak membatasi keuntungan, melainkan mendorong moderasi dalam keuntungan.

Dengan demikian, pengembangan benchmark rate syariah harus berlabuh pada prinsip maslahah, prinsip yang melayani kepentingan umum.

Akses keuangan syariah sudah seharusnya membawa lebih banyak orang keluar dari kemiskinan melalui mode pembiayaan ekuitas yang inovatif, bukan sekadar transaksi keuangan yang spekulatif.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com