Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jannus TH Siahaan
Doktor Sosiologi

Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Peneliti di Indonesian Initiative for Sustainable Mining (IISM). Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.

Pinjol dan Masa Depan Generasi Muda Kita

Kompas.com - 03/06/2023, 13:06 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PERUSAHAAN fintech (Financial Technology) yang bergerak di sektor pengadaan pinjaman online (pinjol) acap kali menjadi sandaran gaya hidup bagi generasi muda, khususnya generasi milenial dan generasi Z.

Teknologi finansial atau teknologi keuangan adalah penggabungan antara teknologi dan sistem keuangan.

Dengan didukung oleh teknologi tinggi dan penggunaan Artificial intelligence (AI), tawaran kemudahan akses dan kecepatan approval pinjaman, membuat generasi muda tergiur untuk menggunakan fitur pinjaman langsung dan fitur "pay later" di aplikasi Electronic commerce atau e-commerce untuk menopang gaya hidup modern.

Mereka tak memikirkan kompatibilitas liabilitas yang mereka miliki di satu sisi dan risikonya terhadap masa depan kebebasan finansial di sisi lain.

Kehadiran fintech Pinjol memang mendobrak beberapa asas kehati-hatian sektor perbankan konvensional selama ini.

Dengan asumsi dasar bahwa pinjol bisa meningkatkan literasi keuangan dan tingkat inklusifitas finansial masyarakat, pemerintah melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mau tidak mau memberi ruang yang cukup lega bagi fintech untuk berkembang.

Walhasil, kelompok masyarakat yang selama ini masuk kategori tidak "bankable" secara kredit justru tersasar secara sangat masif.

Dengan menggunakan teknologi AI, yang biasanya didasarkan pada track record konsistensi pembayaran atau berdasarkan asas "ancam-ancaman" keras berupa penyebaran informasi peminjam kepada semua kontak di peminjam yang ada di hp-nya, perusahaan fintech pinjol mampu menjaga performa kredit macet pada level yang cukup tinggi.

Namun sejatinya tidak menutup gunung es risiko lanjutan yang dialami oleh penggunanya, terutama risiko ketidakmapanan ekonomi yang kian memburuk di kalangan generasi muda.

Sebagaimana kerap diungkap oleh berbagai hasil penelitian tentang generasi milenial dan generasi Z, ketidakpastian ekonomi adalah isu utama yang masih belum teratasi hingga hari ini.

Generasi muda kita terancam kesulitan memiliki aset keras berupa rumah sebagai kebutuhan pokok, karena ketidakpastian masa depan ekonomi, tingginya inflasi di sektor properti, dan beban lintas generasi yang harus mereka tanggung (beban para generasi sandwich).

Walhasil, generasi muda cenderung memundurkan waktu untuk menikah, bahkan tak jarang mundurnya sangat jauh.

Risiko terjauh dari fenomena ini adalah penuaan populasi, seperti yang dialami oleh negara-negara maju di mana generasi muda semakin sedikit karena tingkat kelahiran semakin berkurang, lalu berujung dengan penurunan produktifitas ekonomi negara karena generasi non produktif lebih banyak dibanding generasi produktif.

Artinya untuk Indonesia, era bonus demografi akan berlalu lebih cepat dari yang diperkirakan.

Situasi ini tentu diperburuk oleh kehadiran fintech pinjol yang telah mengarahkan para generasi muda menjadi generasi konsumtif, tanpa memikirkan masa depan keuangan mereka.

Generasi muda dengan mudah menjadikan penghasilan mereka pada masa depan sebagai jaminan untuk melakukan konsumsi hari ini dengan dukungan berbagai fitur pinjaman online besutan fintech pinjol.

Konsumsi tersebut merentang dari segala jenis kebutuhan gaya hidup, seperti ponsel bermerek tenar, pakaian, sepatu, gadget, alat elektronik lainnya, sampai kepada kebutuhan berkategori "leisure" atau jalan-jalan (travel).

Perusahaan fintech bisa memenuhi semua itu, baik dengan fitur paylater maupun dengan fitur pinjaman yang langsung masuk ke rekening peminjam dalam hitungan menit.

Dengan kata lain, fintech pinjol justru menambah ketidakpastian ekonomi yang dialami oleh generasi muda kita, karena penghasilan masa depan mereka telah dijaminkan untuk memenuhi segala kebutuhan gaya hidup dan kebutuhan berkategori "leisure".

Bahkan bisa didapat oleh generasi muda dengan penghasilan "pas-pasan" atau setara dengan upah minimum regional (UMR).

Jadi sekalipun tingkat macet yang dialami fintech masih terbilang "tolerable" secara keuangan, tapi risikonya terhadap generasi muda sangat fatal.

Meski begitu, merujuk data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) ditunjukkan bahwa memang tingkat kredit macet Pinjol dialami oleh segmen generasi muda.

Dengan kata lain, Generasi Z dan milenial dengan rentang usia 19-34 tahun mendominasi kredit macet pada pinjaman online (pinjol) fintech lending.

Berdasarkan data Statistik Fintech Lending periode November 2022 yang diterbitkan oleh OJK pada 3 Januari 2023, nilai kredit macet dengan tunggakan di atas 90 hari rentang usia 19–34 tahun mencapai Rp 766,40 miliar atau berkontribusi 53,9 persen pada total kredit macet yang dialami pinjol.

Sementara itu untuk nasabah dengan rentang usia 35–54 tahun mencatatkan outstanding pinjaman macet sebesar Rp 417,55 miliar dan nasabah di atas 54 tahun sebesar Rp 26,30 miliar, serta nasabah dengan usia di bawah 19 tahun mencatatkan kredit macet sebesar Rp 1,71 miliar.

Adapun secara total, outstanding pinjaman fintech lending per November 2022 tercatat sebesar Rp 50,29 triliun yang terdiri dari perorangan sebesar Rp 42,89 triliun dan badan usaha Rp 7,4 triliun.

Menurut OJK, tingkat keberhasilan bayar atau TKB90 industri fintech lending naik menjadi sebesar 97,17 persen.

TKB90 adalah ukuran tingkat keberhasilan Perusahaan Fintech Pendanaan Bersama dalam memfasilitasi penyelesaian kewajiban Pendanaan dalam jangka waktu sampai dengan 90 hari terhitung sejak jatuh tempo.

Di sisi lain, tingkat wanprestasi (TWP90) atau kredit macet pada level 2,83 persen.

Jadi seperti yang saya sampaikan di atas, rendahnya tingkat wanprestasi hanyalah satu indikator yang hanya bermanfaat untuk perusahaan fintech dan sektor keuangan secara keseluruhan, tapi memberikan risiko lanjutan kepada para peminjam generasi muda yang menggunakan pinjaman online untuk aktifitas konsumsi, bukan aktifitas produktif.

Semakin baik tingkat pembayaran kembali para peminjam generasi muda berarti semakin konsisten sebagian pendapatan mereka digunakan untuk membiayai cicilan dan bunga kredit dari perusahaan pinjol.

Arti lainnya, semakin berkurang porsi pendapatan generasi muda yang bisa mereka gunakan untuk mempersiapkan masa depan mereka, baik untuk membeli aset keras berupa tempat tinggal, biaya pernikahan, tabungan hari tua, asuransi dan lain-lain.

Menurut OJK, terdapat beberapa sebab mengapa Pinjol semakin masif melakukan penetrasi pasar kepada kalangan generasi muda.

Pertama, kemudahan teknologi pinjaman digital (fintech pendanaan bersama, paylater,dan lain-lain) yang membuat pengajuan pinjaman semakin mudah mengakses.

Kedua, adanya aplikasi belanja yang terhubung ke layanan paylater milik fintech (ecommerce, aplikasi pemesanan tiket, makanan, dan lain-lain) yang membuat aktivitas belanja dan berwisata semakin mudah dilakukan, sekalipun sebenarnya tidak didukung oleh liabilitas yang layak.

Ketiga, masih menurut OJK, generasi Milenial dan Gen Z berusia produktif, meskipun memilki pendapatan yang cukup, namun kebiasaan berhutang bisa muncul karena memliki gaya hidup yang komsumtif.

Dan keempat, masih bayak generasi muda yang tidak memiliki literasi keuangan yang baik. Akibatnya, mereka cenderung melupakan signifikansi aktifitas menabung atau berinvestasi, sehingga menggunakan produk pinjaman secara tidak bijak.

Lalu masalah lain yang kurang diwaspadai oleh generasi muda dari fintech pinjol adalah soal bunga pinjaman.

Segala kemudahan yang ditawarkan perusahaan pinjol berbanding lurus dengan tingginya bunga pinjaman yang mereka kenakan. Tingkat bunga pinjaman tersebut bisa sekian kali lipat dibanding kredit konvensional perbankan.

Rerata suku bunga pinjaman perbankan berkisar antara 12 persen sampai 15 persen per tahun, dengan suku bunga deposito sekitar 6-8 persen.

Sementara pinjol bisa berlipat-lipat dari itu, bahkan bisa berkisar 50 persen sampai 80 persen setahun.

Jadi saat peminjam dari generasi muda yang meminjam sekitar Rp 2 juta ke salah satu perusahaan pinjol akan mengembalikan sebesar Rp 3 juta - Rp 3,6 juta.

Artinya, perusahaan pinjol mengekstraksi Rp 1 juta - Rp 1,6 juta dari dana Rp 2 juta yang telah dipakai oleh generasi muda sebagai pinjaman.

Kalkulasi ini belum termasuk denda telat membayar dan bunga berlipat yang dikenakan jika peminjam wanprestasi.

Dalam konteks ini, tak heran banyak ditemui kasus jumlah tagihan membengkak berlipat-lipat, karena peminjam wanprestasi.

Beban dari kasus semacam ini bahkan semakin berat karena harus berhadapan dengan ancaman verbal online dari perwakilan penagih atau ancaman verbal langsung dari para debt collector yang datang ke alamat peminjam.

Menurut sebagian pakar dan ekonom, hal tersebut terbilang lumrah karena suku bunga tinggi berbanding lurus dengan tingkat risiko yang dimiliki oleh perusahaan pinjol.

Namun meskipun begitu, "A lower interest rate doesn't make a debt go away", kata Dave Ramsey.

Apalagi, dari kacamata risiko sosial dan generasional yang mereka bawa, segala kelebihan dan kelemahan pinjol justru merusak banyak generasi muda.

Pendeknya, Pinjol mengemas kredit mikro dalam kemasan menarik, tapi mengandung candu dan penyakit yang bisa merusak sendi-sendi masa depan ekonomi generasi muda.

Selain itu, ikut mendorong berkembangnya psikologi konsumtif generasi muda, menguatkan hasrat hidup malas tapi ingin membangun kesan sedang hidup berleha-leha (memiliki barang-barang bagus dan jalan-jalan saban waktu), dan menciptakan tingkat ketergantungan akut generasi muda kepada pembiayaan konsumtif pinjol secara berkelanjutan.

Fakta ini sungguh sangat mengkhawatirkan!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com