Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Wahyu Suryodarsono
Tentara Nasional Indonesia

Indonesian Air Force Officer, and International Relations Enthusiast

Mewaspadai Penjajahan Gaya Baru Lewat Aturan Anti-Deforestasi

Kompas.com - 01/07/2023, 06:04 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KELAPA sawit adalah salah satu komoditas strategis nasional. Industri sawit dalam dua dekade terakhir telah menjadi tulang punggung perekonomian nasional dalam konteks dalam negeri, bahkan dinilai sebagai sektor yang mendukung pertumbuhan ekonomi (pro-growth), pengentasan kemiskinan, dan penciptaan lapangan kerja.

Indonesia juga adalah negara produsen sekaligus eksportir minyak sawit terbesar di dunia. Menurut data dari Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), tercatat pada 2022 produksi Crude Palm Oil (CPO) Indonesia adalah sebesar 46,729 juta ton.

Meskipun lebih rendah dari 2021 lalu, yaitu sebesar 46,888 juta ton, kontribusinya bagi perekonomian lewat konsumsi dalam negeri dan penggerak industri di sektor oleochemical, biodiesel, dan lain sebagainya menjadi bukti bahwa minyak sawit merupakan komoditas yang sangat penting.

Perkebunan kelapa sawit di Banjarmasin, Kalimantan Selatan ilustrasi/Reuters Perkebunan kelapa sawit di Banjarmasin, Kalimantan Selatan
Kelapa sawit juga dijuluki sebagai “the most influential flex-crop”, karena kemampuannya untuk berperan di semua lini industri, baik di sektor makanan maupun non-makanan.

Akan tetapi, berkembangnya tanaman yang menjadi primadona di Indonesia ini bukanlah tanpa masalah. Kelapa sawit faktanya memang merupakan dalang utama bagi setidaknya dua masalah dalam negeri: masalah lingkungan serta masalah sosial.

Dua masalah ini timbul akibat perluasan lahan dan deforestasi yang dilakukan oleh berbagai pelaku usaha sawit di dalam negeri.

Sebagai contoh, konflik Suku Awyu di Papua Selatan yang muncul akibat klaim lahan hutan adat oleh dua perusahaan industri sawit nasional.

Deforestasi tentunya berkontribusi pada kerusakan lingkungan di wilayah tersebut, serta klaim lahan yang merupakan hutan adat bagi masyarakat lokal tentunya menjadi masalah bagi kehidupan dan sumber mata pencaharian mereka.

Hal serupa juga telah banyak terjadi di daerah Pulau Kalimantan, dan menjadi contoh konkret efek samping dari upaya pertumbuhan ekonomi yang dilakukan oleh para pemilik modal.

Terkait dampak kerusakan lingkungan, dunia barat yang kini begitu getol menyuarakan berbagai isu terkait hal tersebut nampaknya mulai menjadikan ini sebagai salah satu fokus dalam kebijakan ekonominya.

Dengan mengintegrasikan isu lingkungan dengan kebijakan ekonomi, pada 6 Desember 2022 lalu, Uni Eropa secara resmi mengeluarkan regulasi baru bertajuk European Union Deforestation-free Regulation (EUDR) atas desakan asosiasi petani minyak nabati dan raksasa industri minyak nabati Uni Eropa serta LSM anti-sawit.

Regulasi ini disusun dengan tujuan menghentikan deforestasi yang terjadi di luar Uni Eropa, dengan menerapkan hambatan dagang terhadap tujuh komoditas yang dianggap berkontribusi terhadap deforestasi tersebut.

Kelapa sawit, kakao, kopi, karet dan lain-lain merupakan komoditas yang termasuk di dalamnya. Padahal, komoditas-komoditas tersebut, termasuk kelapa sawit, adalah salah satu penopang ekonomi dan penjaga keberlangsungan berbagai industri di Indonesia.

Uni Eropa mengatakan bahwa regulasi tersebut sebenarnya bermaksud baik dan berdampak positif bagi lingkungan.

Akan tetapi, setidaknya terdapat beberapa kelemahan yang menjadi bukti bahwa terdapat unsur diskriminasi atas nama isu lingkungan dalam regulasi ini, khususnya terhadap negara-negara berkembang yang mengandalkan komoditas tersebut sebagai penopang pertumbuhan ekonominya.

Bahkan, Menteri Keuangan RI Sri Mulyani dalam forum MSC 2023: Geopolitics of the Green Transition di Jerman Februari lalu, menyebut bahwa terdapat bahaya yang dapat timbul dari fenomena climate imperialism atau imperialisme iklim di dunia saat ini.

Climate imperialism, menurutnya, adalah penjajahan model baru di mana kebijakan iklim hanya didikte oleh beberapa negara tertentu saja.

Mengapa EUDR diskriminatif?

Meskipun bersifat pro-lingkungan, mengapa kebijakan EUDR ini diskriminatif khususnya bagi Indonesia?

Duta Besar Indonesia untuk Republik Federal Jerman Arif Havas Oegroseno mengatakan bahwa setidaknya terdapat enam alasan mengapa regulasi ini secara mendasar sangatlah bermasalah.

Pertama, regulasi ini mengatur dan mengkritisi secara tegas deforestasi yang terjadi di luar Uni Eropa, tanpa menyadari bahwa deforestasi juga terjadi di lingkungan negara-negara Uni Eropa tersebut.

Hal ini terjadi karena dana kampanye deforestasi Uni Eropa hanya menargetkan isu deforestasi di negara lain, sementara laporan JRC 2020 menyebut bahwa terdapat kegagalan oleh Uni Eropa dalam mengontrol clear-cut harvest pada tahun 2016-2018.

Uni Eropa dalam laporan Euractive, juga dinilai gagal dalam melindungi lingkungan lahan gambut mereka. Hal ini menjadi bukti bahwa deforestasi juga terjadi secara masif di Uni Eropa.

Kedua, komoditas yang menjadi target utama regulasi ini bukanlah produk asal Uni Eropa itu sendiri, sehingga meninggalkan kesan bahwa kebijakan ini bersifat proteksionisme.

Proteksionisme ekonomi pada dasarnya adalah kebijakan yang melindungi aktivitas ekonomi dalam negeri dan berlawanan dengan semangat kerja sama dan pasar bebas yang digemborkan Uni Eropa selama ini.

Ketiga, adanya sertifikasi geolokasi terhadap produk-produk tersebut yang datang dari luar Uni Eropa.

Uni Eropa mensyaratkan agar semua petani di komoditas yang diatur menyertakan data geolokasi lahan mereka tanpa ada jaminan hukum bahwa data mereka akan dilindungi, tidak dipublikasikan tanpa izin, tidak dijual ke pihak ketiga atau dapat menjaga agar tidak dicuri pihak ketiga.

Teknologi geolokasi yang rumit juga dinilai akan memberatkan biaya produksi bagi para pelaku industri kecil, khususnya dalam hal ini yang eksis di industri sawit nasional.

Keempat, regulasi EUDR bertentangan dengan Deklarasi Rio tahun 1992, di mana terdapat pemaksaan kepentingan politik Uni Eropa atas dasar keperluan proteksionisme dalam negeri ke negara lain.

Kelima, regulasi ini akan mengklasifikasikan risiko lingkungan dari komoditas suatu negara dalam tiga kategori: low risk, standard risk, dan high risk.

Terdapat ketidakjelasan penetapan klasifikasi sehingga ditakutkan akan menambah masalah bagi negara eksportir dalam pengaplikasiannya.

Keenam, kecilnya pendanaan yang memadai oleh Uni Eropa agar produk-produk yang disasar EUDR dapat masuk dengan mudah.

Dana bantuan Uni Eropa ke negara-negara Asia tersebut tercatat hanya 2,9 miliar Euro dan terbagi-bagi ke berbagai negara, jauh lebih kecil dari dana investasi yang masuk ke Indonesia saat Hannover Messe, yaitu sebesar 2 miliar Euro.

Di luar semua masalah yang telah dikemukakan tersebut, penulis menemukan bahwa terdapat masalah lain dari sisi audit, yaitu terkait independensi dari penegakan regulasi yang saat ini masih dipertanyakan kejelasannya terhadap Uni Eropa sebagai penggagasnya.

Wajah penjajahan gaya baru

Bila Menteri Keuangan RI Sri Mulyani mendefinisikan fenomena yang terjadi saat ini sebagai climate imperialism, maka Duta Besar Indonesia untuk Jerman Arif Havas Oegroseno menyebut bahwa fenomena ini adalah sebuah imperialisme regulasi.

Uni Eropa sebagai otoritas supra nasional dapat mendikte dan memaksakan suatu standarnya sendiri terhadap negara lain.

Imperialisme dalam definisi yang kaku memang lekat dengan aktivitas kolonialisme atau penjajahan yang terjadi di masa lalu terhadap negara-negara miskin dan berkembang.

Uni Eropa sejatinya juga memang bukanlah organisasi yang pro terhadap penjajahan. Akan tetapi, kritik terhadap imperialisme yang dilakukan oleh Bangsa Eropa bukan berarti berakhir di saat zaman penjajahan telah usai.

Setidaknya, kebijakan EUDR ini mencerminkan sebuah penjajahan gaya baru seperti dalam tulisan Anu Bradford dalam buku “The Brussels Effect: How the European Union Rules the World”. Regulasi tersebut dibentuk untuk memaksakan kehendaknya sendiri demi melindungi neraca perdagangan Uni Eropa yang kembali defisit.

Di samping itu, banyak pelaku bisnis dunia yang menjadikan standar Uni Eropa sebagai standar global, tanpa menimbang tumpang tindih kepentingan yang dapat terjadi dengan negara-negara lain di luar Kawasan Eropa, khususnya di negara berkembang.

Standar regulasi Eropa inilah yang menjadi wajah penjajahan gaya baru, di mana penerapannya belum tentu linier dengan kepentingan berbagai negara yang masih terbelakang dan bermasalah dari sisi pertumbuhan ekonomi.

Negara-negara berkembang seakan tidak diberi ruang untuk keberlanjutan pembangunan ekonomi sesuai skenarionya masing-masing, demi mengikuti standar-standar ganda yang diterapkan Uni Eropa secara global.

Akibatnya, negara miskin dan berkembang harus menerima kenyataan bahwa negara majulah yang justru menghambat negara-negara lain untuk berkembang, demi kepentingan ekonomi negara-negara maju, khususnya di Eropa.

Terdapat beberapa skenario bagi Indonesia dalam menyelesaikan permasalahan ini. LPPEM FEB UI misalnya, Juni lalu mengemukakan bahwa terdapat dua alternatif yang dapat dijadikan sebagai jalan keluar, yaitu lewat diplomasi dalam kerangka Indonesia-EU CEPA atau lewat narasi keberlanjutan dalam pembangunan industri sawit.

Meskipun regulasi EUDR ini memang berpotensi merugikan Indonesia, hal ini menjadi alarm bagi kita untuk mulai menyadari bahwa aspek kebijakan luar negeri yang diskriminatif dari segi ekonomi patut untuk diwaspadai pada masa yang akan datang, sebagai alat ampuh untuk menekan laju pertumbuhan negara-negara berkembang.

Wajah penjajahan gaya baru dalam makna filosofis di kasus ini bukanlah imperialisme dalam bentuk yang nyata seperti halnya yang terjadi di masa lalu. Namun dalam bentuk yang lebih modern di mana negara-negara lain harus tunduk pada standar tertentu yang diberlakukan oleh negara maju.

Dalam kasus EUDR, standar ini memang hanya menguntungkan Uni Eropa sebagai regulator dan tidaklah inklusif sama sekali dari sisi pertumbuhan ekonomi dunia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com