Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Proyek Kereta Cepat Disebut Tidak Balik Modal Sampai Kiamat, Rhenald Kasali Jawab Begini

Kompas.com - 30/09/2023, 10:00 WIB
Isna Rifka Sri Rahayu,
Aprillia Ika

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung mengalami pembengkakan biaya sebesar 1,2 miliar dollar AS. Dengan demikian, biaya total proyek yang berlangsung sejak 2016 itu kini mencapai 7,27 miliar dollar AS.

Ekonom Senior Faisal Basri pernah menyebut, proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung tidak layak secara bisnis sehingga dipastikan sulit balik modal.

Bahkan, Faisal menggunakan analogi sampai kiamat pun proyek tersebut tidak akan bisa menutup investasi yang sudah keluar.

Sebab dengan investasi sebesar itu, kata Faisal Basri, rasanya sulit untuk kereta cepat Jakarta Bandung balik modal meski harga tiketnya Rp 400.000 sekali jalan.

"Diperkirakan sampai kiamat pun tidak balik modal," kata Faisal dikutip dari Kompas TV, beberapa waktu lalu.

Baca juga: Bocorkan Rute Kereta Cepat Menuju Surabaya, Luhut: Lewati Kertajati, Jogja, Solo...

Sementara itu, pakar bisnis Rhenald Kasali justru berpendapat lain. Menurutnya, jika proyek kereta cepat ini hanya melihat dari sisi pengembalian modal saja maka Indonesia tidak akan pernah memiliki kereta cepat.

"Jadi kalau teman-teman mengatakan sampai kiamat pun enggak balik modal, pasti kita enggak akan bangun itu," ujarnya saat acara Hub Space 2023 di JCC Senayan, Jumat (29/9/2023).

Sedangkan moda transportasi umum dengan teknologi canggih ini selain untuk memudahkan mobilitas masyarakat, juga bisa untuk meningkatkan citra atau branding Indonesia di mata negara-negara lain.

Baca juga: Jokowi: Kereta Cepat Jakarta-Bandung Nyaman, Kecepatan 350 Km Per Jam Tidak Terasa Sama Sekali

 


Sama halnya seperti Jewel Changi Airport yang merupakan taman hiburan bernuansa alam yang berada di Bandara Changi, Singapura.

Mulanya pembangunan taman hiburan ini ditentang banyak warga Singapura. Namun akhirnya dapat menjadi salah satu ikon yang dicari oleh para turis dan pengunjung bandara.

"Itu diperlukan oleh bangsa itu untuk membangun kepada dunia bahwa mereka mempunyai kemampuan membuat sesuatu yang bagus. Jadi itu branding," ucapnya.

Baca juga: Peresmian Kereta Cepat Whoosh Mundur Jadi 2 Oktober 2023

Selain untuk branding, pembangunan transportasi publik juga harus mempertimbangkan keadilan dan pemerataan di seluruh wilayah Indonesia.

Misalnya ketika Presiden Joko Widodo (Jokowi) berencana membangun jalan tol Lampung hingga ke Banda Aceh di Sumatera banyak pihak menilai pembangunan jalan tol itu masih belum waktunya.

"Saya setuju belum waktunya, tapi saudara-saudara, ketika melakukan pembangunan ekonomi itu bukan cuma sekedar fungsional, bukan sekedar melihat uang kembali. Tetapi ada aspek lain yaitu keadilan, pemerataan," jelasnya.

Baca juga: Pemerintah Pilih Whoosh untuk Nama Kereta Cepat RI, Ini Maknanya

Selain itu, berdasarkan pengalamannya, banyak proyek kereta commuter di negara-negara maju seperti wilayah Eropa dan Swiss yang juga tidak mampu menutupi modal dengan pendapatannya.

Namun kereta-kereta commuter ini tetap beroperasi secara rutin melayani penumpang sekalipun di waktu-waktu sepi penumpang seperti malam hari dan akhir pekan.

"Penumpangnya enggak ada tapi muter terus keretanya, bagus terus karena diperbaharui setiap tahun, dibagusin lagi, dibagusin lagi. Setelah saya lihat-lihat, saya baca-baca itu rugi semua, subsidi semua," ungkapnya.

Kendati demikian, dia memaklumi apabila setiap pihak memiliki pendapat yang berbeda lantaran membidangi disiplin ilmu masing-masing.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com