Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Eko Setiadi
Analyst Energy

Profesional di sektor energi dengan pengalaman manajemen proyek, business planning, portfolio, risk management, dan policy

Implikasi Konflik Israel-Hamas terhadap Dinamika Energi Global

Kompas.com - 31/10/2023, 11:16 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KONFLIK Palestina dan Israel makin sengit setelah milisi Hamas meluncurkan serangan ke Israel Selatan pada 7 Oktober lalu. Hamas berdalih serangan tersebut adalah balasan atas penyerbuan Al-Aqsa pada awal tahun ini.

Israel segera bereaksi dengan membalas serangan udara ke Jalur Gaza, dan sejumlah tempat seperti kamp pengungsian, rumah sakit, dan sekolah.

Perang ini menjadi babak terbaru dari siklus kekerasan yang telah berlangsung lama di kawasan tersebut.

Secara historis, konflik di Timur Tengah pernah menjadi pemicu krisis energi yang berkepanjangan.

Perang Yom Kippur antara Israel dan koalisi negara-negara Arab pada 1973 memicu embargo yang menyebabkan harga minyak melonjak empat kali lipat dalam setahun.

Begitu juga krisis minyak yang dipengaruhi revolusi Iran pada 1978-1979, perang Iran-Irak, dan perang Teluk pada 1990-1991.

Sebagai respons atas serangan Israel ke rumah sakit di Gaza, Menteri Luar Negeri Iran Hossein Amir-Abdollahian mendesak negara Islam melakukan embargo minyak terhadap Israel.

Ancaman ini berpotensi mengganggu perekonomian Israel mengingat negara ini mengimpor minyak 270.000 barel per hari – yang mengandalkan pasokan dari Kazakhstan, Irak, dan Azerbaijan.

Potensi gejolak pasar energi global

Berbagai negara patut khawatir terhadap kemungkinan konflik Israel-Hamas menjadi berkepanjangan.

Apalagi saat ini dunia masih belum pulih sepenuhnya dari berbagai tekanan ekonomi, seperti krisis keuangan, inflasi tinggi dan dampak perang Rusia-Ukraina di sektor pangan dan energi.

Minyak masih merupakan sumber daya penting bagi perekonomian. Meskipun saat ini dunia menuju transisi energi yang mengedepankan energi terbarukan, fungsi minyak belum dapat tergantikan sepenuhnya, khususnya untuk transportasi, industri, petrokimia dan banyak sektor lainnya.

Negara-negara dengan cadangan minyak yang melimpah dan mengekspor produksinya dalam jumlah besar mempunyai pengaruh geopolitik signifikan, termasuk mampu memengaruhi pasar dan pasokan energi global.

Meskipun cukup sulit untuk memprediksi kondisi ke depan, namun setidaknya terdapat tiga kemungkinan yang dapat mengubah lanskap pasar energi global.

Pertama, Israel sudah melancarkan serangan udara menggempur basis pasukan Hizbullah di Suriah dan perbatasan Lebanon.

Agresivitas militer ini meningkatkan risiko ketidakstabilan kawasan Timur Tengah jika Iran, Arab Saudi, dan negara-negara Teluk lainnya terlibat dalam konflik tersebut.

Apabila serangan Israel menjangkau Iran, maka reaksi balasan Iran akan meningkatkan eskalasi ketegangan geopolitik di teluk Persia.

Kedua, terjadinya langkah yang lebih keras sebagai implementasi kebijakan pemerintahan Biden terhadap Iran.

Sudah beberapa tahun ini Amerika Serikat menekan China untuk menghentikan impor minyak dari Iran. Desakan ini berkaitan sanksi atas Iran terhadap aktivitas nuklir dan pengembangan rudal balistik.

Namun China selalu menolak sanksi AS dengan alasan kerja sama Iran-China legal dan memiliki legitimasi hukum internasional.

Dengan volume impor 1,5 juta barel per hari plus harga diskon untuk memenuhi kebutuhan industri domestiknya, tentu bukan hal yang mudah untuk menekan China mengikuti kemauan AS.

Ketiga, terlewatinya momentum menuju normalisasi hubungan antara Arab Saudi dan Israel. Satu tahun ini, normalisasi hubungan Saudi dengan Israel yang dimediasi AS tengah mengalami kemajuan.

AS juga berupaya menambahkan Arab Saudi ke dalam daftar penandatangan Abraham Accords. Pembicaraan ini melibatkan isu-isu rumit termasuk tuntutan Saudi terhadap jaminan keamanan AS dan kerja sama energi nuklir.

Namun dengan pecahnya perang Israel-Hamas, Arab Saudi memutuskan untuk menghentikan sementara pembicaraan normalisasi hubungan diplomatik dengan Israel.

Saat ini konflik Israel-Hamas belum menunjukkan dampak adanya gejolak di pasar energi. Indikasinya adalah masih relatif stabilnya harga minyak Brent berkisar pada 85-90 dollar AS/bbl.

Namun jika konflik meluas ke negara-negara penghasil minyak seperti Arab Saudi, Irak dan Iran serta fakta kawasan Timur Tengah menyumbangkan sepertiga pasokan minyak global, ketidakstabilan kawasan pasti akan memicu ketidakpastian pasar dan mengganggu pasokan minyak.

Para senator di AS baru saja menyetujui tindakan Israel dengan suara bulat untuk melanjutkan serangan militer di Gaza.

Sikap ini mencerminkan hubungan yang kuat antara Amerika dan Israel, yang sebagian besar didasari kepentingan strategis Amerika dalam memastikan pengaruhnya di Timur Tengah, keamanan kawasan, dan upaya menetralisi ancaman nuklir Iran.

Negara-negara Arab yang tergabung dalam Dewan Kerja Sama Teluk (GCC) tetap berkomitmen pada keamanan energi dan menghindari penggunaan minyak sebagai senjata geopolitik.

Sejauh ini, Arab Saudi dan negara sekutunya di Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC+) masih sebatas memantau dampak yang sedang berlangsung.

OPEC+ yang berkepentingan menjaga harga minyak tetap stabil dan dapat diprediksi, cenderung menghindari keputusan yang berdasarkan pada volatilitas jangka pendek.

Urgensi ketahanan energi Nasional

Potensi melonjaknya harga minyak mentah sebagai dampak ketegangan geopolitik Timur Tengah juga menjadi perhatian Presiden Joko Widodo, khususnya implikasi di sektor fiskal maupun moneter.

Kekhawatiran Jokowi tersebut sangat beralasan. Saat ini produksi dalam negeri tidak mencukupi sehingga Indonesia masih harus impor minyak mentah, BBM dan LPG.

Naiknya harga energi dapat memperlebar defisit neraca perdagangan dan naiknya inflasi sebagai dampak turunnya daya beli masyarakat karena kenaikan harga barang dan jasa.

Kenaikan harga minyak dan BBM juga akan menekan APBN, sebagai akibat melonjaknya besaran subsidi dan kompensasi.

Contohnya, realisasi anggaran subsidi dan kompensasi energi sepanjang 2022 mencapai Rp 551,2 triliun, hampir tiga kali lipat dari asumsi subsidi dan kompensasi 2022 sebesar Rp 192,7 triliun yang setara dengan 17,9 persen total belanja negara.

Ketidakpastian harga minyak juga akan memengaruhi keputusan investasi, khususnya pada sektor-sektor yang sensitif terhadap biaya energi. Hal ini dapat berdampak pada pertumbuhan ekonomi.

Dalam konteks ini, peran pengambil kebijakan yang memprioritaskan ketahanan energi nasional menjadi semakin penting.

Secara komparatif, ketahanan energi nasional masih rentan dan lebih rendah dibandingkan Malaysia, Singapura, dan Thailand (World Energy Council 2021).

Peringkat ketahanan energi didasarkan pada empat indikator, yakni ketersediaan sumber energi, kemudahan akses, keterjangkauan harga dan pasokan, dan penggunaan energi ramah lingkungan

Kebijakan energi nasional idealnya selaras dengan dinamika politik global dan regional. Seluruh stakeholders sektor ekonomi dan energi harus memantau perkembangan di Timur Tengah dengan cermat, serta mengidentifikasi potensi risiko terhadap pasokan energi.

Setiap perubahan dalam dinamika geopolitik di Timur Tengah dapat menjadi alarm awal bagi pengambil kebijakan untuk mempersiapkan berbagai skenario dan kemungkinan yang terjadi sekaligus menyiapkan mitigasi risiko yang paling optimal.

Di tengah dinamika tahun politik seperti sekarang, sangat mendesak untuk segera disiapkan strategi jangka pendek yang berorientasi pada stabilitas dan ketahanan ekonomi nasional.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com