Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ahmad Amiruddin
Mahasiswa Doktoral Monash University

Ahmad Amiruddin, Mahasiswa Doktoral bidang Energy Storage & Integration of Renewable Energy di Monash University; alumni MSc in Sustainable Energy The University of Edinburgh; mantan Vice President PPI Australia 2022-2023; dan ASN Kementerian ESDM.

Meneropong Masa Depan Baterai Lithium-ion Berbasis Nikel

Kompas.com - 24/01/2024, 11:51 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Berbasis nikel yang popular Lithium Nickel Manganese Cobalt sering disingkat NMC dan Lithium Nickel Cobalt Alumnium Oxide atau disingkat NCA.

Sedangkan nonnikel saat ini yang utama Lithium Fero Phospate atau Lithium Iron Posphate atau sering disebut LFP. LFP inilah salah satu “bintang” utama debat cawapres.

Baterai Lithium-ion berbasis Nikel pemimpin pasar

Saat ini pemimpin pasar baterai lithium-ion adalah jenis NMC. Jenis NMC punya banyak keunggulan, di antaranya specific energy yang tinggi. Artinya bisa lebih ringan, sehingga menjadi pilihan utama untuk digunakan pada peralatan mobile.

Perbandingan antara Nikel dengan unsur lainnya bisa 1:1:1 atau ada juga 6:2:2. Intinya makin banyak nikelnya, maka akan makin ringan baterainya.

Namun di balik keunggulannya ini, NMC memiliki kekurangan dari segi karakteristiknya yang mudah panas. Semakin banyak unsur nikelnya, maka makin mudah panas dan potensial berbahaya, bisa menyebabkan kebakaran dan memperpendek umur baterainya.

Selain itu, rantai pasok material mentah dari NMC bermasalah khususnya kobalt. Sebanyak 70 persen cobalt dunia disuplai dari negara konflik di Republik Demokratik Kongo.

Konflik tersebut membuat kepastian pasokan sangat berisiko di samping praktik penambangannya yang dianggap bermasalah secara lingkungan dan sosial karena mempekerjakan anak di bawah umur.

Mengantisipasi permasalahan baterai, para ilmuwan tak berhenti berinovasi. Inovasi baterai digerakkan untuk mencari komposisi baterai lebih ringan, lebih murah, lebih tahan lama, tidak terkait konflik dan rantai pasok tidak dikuasai satu pihak saja.

Selain NMC, maka LFP menjadi pilihan yang makin populer, karena lebih murah 32 persen dibanding NMC (Bloomberg, 2023), bahan bakunya relatif lebih tersebar di berbagai negara dan tidak terkait negara konflik.

Di samping itu, LFP memiliki karakteristik lebih stabil sehingga lebih tahan lama dan juga lebih aman.

Namun kekurangannya adalah specific energy-nya yang rendah sehingga lebih berat dan phosphate merupakan bahan baku utama pembuatan pupuk yang bisa menyebabkan kompetisi antara energi dan pangan.

LFP saat ini dikembangkan secara masif di China di mana manufaktur baterai dunia berpusat. Saat ini pangsa pasar LFP global hanya sekitar 10 persen, tapi diperkirakan akan terus meningkat.

Menurut prediksi Wood Mackenzie, pangsa pasar LFP diperkirakan menjadi 30 persen pada 2030 khususnya untuk baterai penyimpanan (energy storage).

Karena pabrikasinya yang relatif murah dan elemennya lebih mudah ditemukan, maka makin banyak produsen baterai beralih ke LFP termasuk BYD, Samsung, Hyundai dan terakhir Tesla.

Namun, khusus kendaraan listrik, NMC menguasai 60 persen pangsa pasar saat ini dan 30 persennya adalah LFP. NMC diperkirakan masih akan menguasai pasar tahun 2030 untuk kendaraan listrik khususnya untuk Amerika serikat dan Eropa.

Apa yang sebaiknya dilakukan Indonesia?

Dalam rilis Bloomberg tahun 2022 yang mencatat peringkat rantai pasok baterai lithium-ion dunia, Indonesia berada di peringkat 22.

Rantai pasok ini mencakup bahan mentah, manufaktur, lingkungan, regulasi dan pemerintahan, industri, inovasi dan infrastruktur, serta demand.

Indonesia menjadi negara nomor lima terdepan dalam bahan mentah, namun tercecer di belakang untuk faktor lainnya, bahkan berada pada urutan 27 untuk industri, inovasi dan infrastruktur.

Tiongkok yang merupakan pembeli utama nikel dari Indonesia adalah penguasa utama rantai pasok ini dengan menjadi nomor satu untuk bahan mentah manufaktur dan demand.

Saat ini 75 persen manufaktur sel baterai berpusat di China, demikian pula dengan sebagian besar industri pendukung anoda dan katoda.

Namun saat Indonesia menatap NMC sebagai ladang emas masa depan, LFP mungkin diprediksi akan mengambil alih pasar NMC di baterai penyimpanan tak bergerak atau energy storage. Namun keunggulan baterai NMC dengan sifatnya yang ringan juga tak bisa dianggap remeh.

Ketika negara lain atau produsen lain mulai beralih kepada LFP tidak serta merta merupakan hal yang buruk bagi Indonesia.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com