Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Indonesian Consortium for Cooperative Innovation (ICCI)
Lembaga Inovasi Perkoperasian

Indonesian Consortium for Cooperative Innovation (ICCI) merupakan lembaga inovasi perkoperasian di Indonesia. Berdiri sejak tahun 2018, ICCI berupaya mengembangkan inovasi melalui produksi pengetahuan, inkubasi model, pengembangan ekosistem dan advokasi kebijakan.

Jaringan Inovator Koperasi (JIK) merupakan komunitas epistemik yang diinisiasi dan dikembangkan oleh ICCI. Anggotanya berasal dari para peneliti, akademisi, praktisi, aktivis, mentor dan konsultan yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia.

ICCI dan JIK meyakini inovasi dapat meningkatkan relevansi dan keberlanjutan koperasi di tengah tantangan perubahan zaman. Ingin berkontribusi lebih, gabung bersama kami di https://jik.icci.id

Koperasi "For-Profit" dan "Not-For-Profit", Khazanah Australia Serta Refleksi Indonesia

Kompas.com - 06/04/2024, 17:06 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: Firdaus Putra, HC dan Novita Puspasari*

DI AUSTRALIA keberadaan koperasi tidak bisa dipisahkan dengan perusahaan mutual. Keduanya kerap disatukan dalam payung yang sama, yakni Cooperative and Mutual Enterprises/ CME (Perusahaan Koperasi dan Mutual).

Secara bersama-sama, volume usaha keduanya mencapai 40,4 milyar dollar dan dengan aset 1,46 trilliun dollar (BCCM, 2023).

Selain itu, fakta bahwa 8 dari 10 orang di Australia merupakan anggota koperasi atau mutual adalah hal menarik untuk kita ulas.

Di sana, sektor usaha yang menyumbang omset terbesar adalah koperasi pertanian, sementara jenis mutual yang memiliki keanggotaan terbesar adalah dana pensiun.

Pembagian Dividen

Berdasarkan pola pembagian sisa hasil usaha (SHU) atau dividen, koperasi di Australia dibagi menjadi dua: distributing cooperative dan non-distributing cooperative.

Distributing cooperative atau yang juga disebut for-profit cooperative memiliki kewajiban untuk membagi sebagian atau seluruh keuntungannya kepada anggota.

Koperasi jenis ini harus memiliki modal saham dan anggota harus memiliki jumlah saham minimum yang ditentukan oleh koperasi.

Sebaliknya, non-distributing cooperative atau yang disebut juga not-for-profit cooperative tidak wajib membagi dividen kepada anggotanya. Semua keuntungan koperasi harus kembali ke koperasi dan digunakan untuk mencapai tujuan koperasi.

Koperasi jenis ini dapat tidak menebitkan saham, namun juga tidak dilarang jika ingin menerbitkannya.

Distributing cooperative memperoleh pendanaan dari modal saham anggota, pendapatan bisnisnya, dan dapat juga dari biaya langganan anggota.

Di sisi lain, non-distributing cooperative yang tidak memiliki modal saham memperoleh pendanaan dari perputaran bisnisnya, langganan anggota, dan hibah.

Oleh Pemerintah Australia, ketentuan-ketentuan di atas diatur dalam UU Koperasi (Cooperative Act, National Uniform Legislation, 2015) yang tebalnya 432 halaman.

Pada Chapter 2 UU tersebut mendefinisikan distributing cooperative sebagai a co-operative that is not prohibited from giving returns or distributions on surplus or share capital.

Dengan kata lain, koperasi jenis ini tidak dilarang untuk membagikan atau mendistribusikan laba atau modal saham ke anggotanya.

Sedangkan non-distributing cooperative didefinisikan sebagai a co-operative that is prohibited from giving returns or distributions on surplus or share capital to members, other than the nominal value of shares (if any) at winding up.

Ini berarti koperasi jenis ini dilarang untuk membagikan laba atau pengembalian modal saham kepada anggotanya, selain nilai nominal saham (jika ada) pada saat pembubaran.

Di sana dua jenis tersebut berkembang masif dan hasilkan champion pada masing-masing jenis. Salah satu contoh distributing cooperative yang besar seperti Geraldton Fishermen Cooperatives (GFC).

GFC adalah koperasi perikanan pengekspor rock lobster terbesar di dunia. Semua anggota adalah pemilik saham dan tata kelolanya berbasis one man, one vote.

Sebagai koperasi yang mendistribusikan dividen, GFC membagikannya dalam bentuk “bonus loyalitas” berdasarkan volume pasokan yang disetor oleh setiap anggota sepanjang musim penangkapan ikan.

Contoh kedua adalah Capricorn Society Ltd., merupakan koperasi produsen otomotif Australia dan Selandia Baru, dengan sekitar 18.500 anggota usaha kecil.

Capricorn mengeluarkan saham untuk anggotanya dan membayar dividen ke anggotanya setiap tahun. Semua anggota memiliki hak suara yang sama.

Anggota dapat memilih untuk menerima dividen mereka saat dibagikan dalam bentuk saham tambahan, atau sebagai dividen secara penuh.

Sedangkan contoh koperasi non-distributing di Australia seperti Nundah Community Enterprises Co-operative (Nundah Co-op) yang dibentuk pada tahun 1998 untuk menciptakan peluang kerja dan pelatihan yang berkelanjutan bagi penyandang disabilitas.

Nundah Co-op melakukan pelatihan serta penyaluran tenaga kerja untuk para difabel. Mereka membiayai aktivitasnya dengan modal dari hibah dan juga dari keuntungan operasional yang tidak dibagikan kepada anggota.

Contoh lainnya adalah Civic Risk. CivicRisk merupakan perusahaan mutual yang selama lebih dari tiga dekade telah mendukung pemerintah daerah di Australia dengan layanan manajemen risiko dan mitigasi.

Mereka melindungi dan melayani komunitas dengan lebih baik daripada swasta. Keanggotaan Civic Risk terdiri dari 26 pemerintah daerah.

CivicRisk merupakan non-distributing mutual yang tidak mengeluarkan saham dan tidak memiliki modal anggota. Alih-alih, anggota mereka membayar kontribusi setiap bulan atau tahunan.

Dividen tidak didistribusikan kepada anggota, melainkan diakumulasi setiap tahun dan digunakan kembali untuk pengembangan koperasi.

Pembagian dividen umumnya dilakukan oleh koperasi produsen atau pemasaran, di mana koperasi ini berorientasi pada pasar terbuka.

Koperasi-koperasi tersebut mencari nilai dari pasar yang menguntungkan bagi anggotanya. Sedangkan non-distributing cooperative biasanya adalah koperasi yang bergerak di bidang layanan atau yang berbasis komunitas, dan juga mutual. Koperasi-koperasi tersebut cenderung berorientasi pada layanan bagi anggotanya.

Refleksi untuk Indonesia

Meski UU Perkoperasian di Indonesia tidak mengenal klasifikasi seperti di atas, kita dapat meminjamnya sebagai suatu paradigma dalam analisis.

Di tengah masyarakat sering terjadi perdebatan dalam melihat koperasi, apakah berorientasi laba atau tidak. Bila meminjam klasifikasi Australia, memang koperasi pada dasarnya terbagi dalam dua jenis seperti di atas.

Koperasi-koperasi yang terbentuk untuk mengonsolidasikan sumber daya anggota dalam rangka menciptakan nilai tambah, meningkatkan posisi tawar, jangkauan pasar serta lainnya, cenderung bersifat distributif.

Artinya mereka perlu mencetak laba, yang kemudian mendistribusikannya kepada anggota berdasar tingkat partisipasinya. Koperasi produksi tergolong dalam jenis ini.

Di sisi lain, koperasi yang berorientasi layanan seperti simpan-pinjam dan konsumsi, nature of business keduanya cenderung bersifat non-distributif.

Mereka cenderung bekerja pada pasar tertutup, yakni anggotanya saja. Sehingga upaya pencarian laba akan membebani anggota.

Alih-alih mengejar laba, koperasi jenis ini cenderung akan meningkatkan efisiensi sehingga selisih antara harga pasar dengan koperasi menjadi manfaat nyata bagi anggota.

Dengan memahami paradigma tersebut, idealnya manfaat utama bagi anggota pada koperasi simpan-pinjam atau konsumsi adalah dalam bentuk harga layanan yang murah.

Sedangkan manfaat dalam bentuk dividen dapat dinilai kurang relevan. Sebabnya, penciptaan dividen sama dengan peningkatan harga layanan sehingga trade-off antara aspirasi anggota dengan usaha koperasi.

Berburu dividen pada jenis koperasi semacam itu membuat principal-agent problem menjadi berlipat ganda. Konflik kepentingan terjadi di mana anggota melalui Pengurus sebagai principal dan Pengelola sebagai agent, memiliki perspektif berbeda.

Sebagai contoh, anggota menghendaki harga layanan murah dan juga dividen tinggi. Pada koperasi dengan karakteristik non-distributif, hal tersebut kontradiktif dan tidak wajar.

Pada kasus tertentu, Pengelola sebagai agent karena berusaha mempertahankan posisi dan pekerjaannya membuat mereka berada di bawah tekanan.

Hal itu dapat mendorong mereka untuk berperilaku tidak etis, spekulatif, berisiko tinggi atau gegabah dalam mengelola investasi dan usaha.

Principal-agent problem itu muncul, misalnya, pada kasus di mana koperasi sesungguhnya merugi, namun tetap mengupayakan pembagian dividen.

Sumber dananya mereka upayakan dari aneka cara yang seringkali tidak akuntabel dan tidak wajar. Satu sisi bahwa tindakan tersebut merupakan hal yang salah. Pada sisi lain, boleh jadi paradigma serta desain organisasinya juga keliru.

Sayangnya, UU Perkoperasian kita mengisyaratkan bahwa pembagian dividen adalah normal pada semua jenis koperasi.

Artinya, meminjam terminologi Australia di atas, seluruh koperasi di Indonesia tergolong distributif atau berorientasi laba.

Hal itu terlihat pada Pasal 45 ayat 2 UU No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, yang menyatakan, “Sisa Hasil Usaha setelah dikurangi dana cadangan, dibagikan kepada anggota sebanding dengan jasa usaha yang dilakukan oleh masing-masing anggota dengan koperasi ....”.

Dari sanalah anggota menjadi termotivasi menuntut dividen tinggi tanpa memperhatikan karakteristik koperasinya.

Paradigma serta praktik baik Australia di atas boleh jadi perlu kita adopsi. Koperasi-koperasi yang berorientasi pada layanan tertutup dengan karakteristik non-distributif, sangat mungkin sedari awal mengatur dalam Anggaran Dasar untuk tidak membagikan dividen.

Sebaliknya, mereka akan menekan harga layanan serendah mungkin yang menjadi sumber keunggulan kompetitif koperasi.

Akumulasi dividen yang tidak dibagikan dapat menjadi sumber kekuatan dalam pengembangan usaha mereka.

Sedangkan pada koperasi-koperasi distributif, seperti produksi, pembagian dividen justru dapat menjadi salah satu indikator produktivitas usaha.

Peningkatan dividen menunjukkan usaha masih kompetitif di tengah persaingan pasar. Pembagian dividen tersebut memotivasi anggota untuk menjaga kualitas serta kuantitas pasokan, yang menjadi sumber kekuatan dalam pengembangan bisnis secara berkelanjutan.

Praktik Australia nampaknya tepat dalam mengklasifikasi koperasi ke dalam dua jenis itu. Mereka tepat dalam memahami nature of business masing-masing sektor usaha dengan desain organisasi yang sesuai atau simetris.

Sebaliknya di Indonesia yang terjadi kemungkinan justru asimetris, desain modalnya (Simpanan Pokok dan Simpanan Wajib) terlihat bercorak non-distributif.

Namun ketentuan dividennya bersifat distributif, itu pun tanpa memperhatikan nature of business sektor usaha yang berbeda-beda. 

*Firdaus Putra, HC, Peneliti dan Ketua Komite Eksekutif ICCI
Novita Puspasari, Peneliti dan Kandidat Doktor Monash University, Australia

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com