SUNGGUH ironis bahwa Generasi Z mengalami NEET (Not in Employment, Education, or Training). Menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS), ditemukan sebanyak 9,9 juta penduduk berusia 15-24 tahun (Gen Z) tidak memiliki kegiatan bekerja, pendidikan, dan pelatihan.
Jumlah populasi Gen Z pada 2024 diperkirakan sekitar 44,65 juta jiwa, dengan 22,3 persen dari mereka menganggur. Angka ini setara dengan sekitar 9,95 juta orang, yang mendekati jumlah penduduk negara Portugal.
Ini tentu angka yang sangat mengkhawatirkan. Indonesia berpotensi menghadapi masalah ekonomi serius.
Kondisi ini juga dapat memicu ketidakpuasan sosial, yang berpotensi mengarah pada protes, kerusuhan, dan ketidakstabilan politik. Selain itu, pengangguran yang tinggi sering kali berkorelasi dengan peningkatan kriminalitas dan kekerasan.
Keadaan ini semakin mengkhawatirkan dengan tambahan angka pengangguran dan setengah pengangguran yang mencapai lebih dari 56 juta orang.
Sementara itu, jumlah angkatan kerja setiap tahun terus mengalami kenaikan, dengan angkatan kerja pada 2024 mencapai 149,38 juta orang.
Bandingkan dengan negara lain seperti Singapura, Malaysia, dan Jepang, di mana tingkat pengangguran kaum muda hanya sekitar 4 persen. Ini jelas bahwa Indonesia menghadapi krisis yang lebih mendalam.
Pemerintah harus segera menanggapi masalah ini dengan serius. Tugas negara dalam menyediakan lapangan pekerjaan bagi warganya harus menjadi prioritas utama.
Gen Z adalah generasi yang tumbuh pada saat teknologi informasi berkembang pesat. Mereka generasi pertama yang mendapat akses ke Internet dan teknologi digital portabel sejak usia muda, sehingga mereka dijuluki "digital native".
Mereka menghabiskan waktu rata-rata 7-13 jam setiap harinya untuk berselancar di Internet. Karena itu, Gen Z lebih banyak mengandalkan pekerjaan kreatif daripada pekerjaan yang mengandalkan tenaga fisik.
Lingkungan pekerjaan yang disenangi oleh Gen Z adalah pekerjaan yang menawarkan fleksibilitas, penggunaan teknologi, dan kesempatan untuk bekerja dari jarak jauh atau dalam lingkungan yang lebih modern dan kolaboratif.
Mereka lebih berminat pada dunia industri kreatif, seperti content creator, podcaster, hingga mendirikan perusahaan rintisan (start-up), menjadi cita-cita mereka.
Gen Z cenderung menghindari pekerjaan yang lebih mengandalkan tenaga fisik seperti buruh pabrik, konstruksi, pertanian, peternakan, nelayan, transportasi, logistik, kebersihan, keamanan, pelayan toko, hotel, dan restoran.
Dengan kata lain, Gen Z menyenangi pekerjaan berhubungan dengan komputer dibandingkan dengan pekerjaan lapangan yang membutuhkan tenaga fisik.
Meskipun ada peningkatan signifikan dalam permintaan untuk pekerjaan yang lebih mengandalkan keterampilan digital dan kreatif (high skill), namun sektor-sektor pekerjaan fisik (low skill dan middle skill) tetap stabil dan masih banyak dibutuhkan dalam dunia ketenagakerjaan.
Pekerjaan fisik masih bersifat esensial dan tidak dapat sepenuhnya digantikan oleh teknologi.
Teknologi memang mengubah cara banyak pekerjaan fisik dilakukan dengan otomatisasi dan alat-alat canggih yang membuat pekerjaan lebih efisien dan aman, tetapi pekerjaan tersebut tetap memerlukan kehadiran manusia.
Model kerja untuk menarik dan mempertahankan bakat dari generasi Z adalah upaya yang harus dilakukan oleh pemerintah.
Meski Gen Z tertarik dalam dunia kewirausahaan, realitanya 95 persen dari mereka masih bergantung pada lapangan pekerjaan formal maupun informal.