Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Wasiaturrahma
Guru Besar di FEB Universitas Airlangga

Pengamat Moneter dan Perbankan, Aktif menulis beberapa buku, Nara sumber di Radio dan Telivisi ,seminar nasional dan internasional juga sebagai peneliti

Waspada Melemahnya Rupiah

Kompas.com - 19/06/2024, 09:54 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

MELEMAHNYA rupiah pada dasarnya tidak ada hubungannya dengan fundamental perekonomian negara kita.

Rumor bahwa pemerintahan baru akan menaikkan rasio utang terhadap PDB dari level saat ini menjadi 50 persen di tengah suasana bearish mata uang terhadap greenback semakin memperkeruh keadaan.

Memang melemahnya rupiah menyebabkan barang impor menjadi lebih mahal. Hal ini akan berkontribusi kepada “imported inflation” atau inflasi yang diimpor sebagai akibat kenaikan barang-barang impor.

Geopolitik saat ini masih menggelora, sehingga dunia sedang menghadapi kenaikan harga minyak sebagai akibat adanya perang di Palestina.

Kenaikan harga minyak akan memicu meningkatnya biaya transportasi dan biaya produksi. Apalagi Indonesia sudah sebagai “net importer” minyak, artinya hal ini sudah dapat dipastikan akan mendorong inflasi di dalam negeri dalam bentuk “cost push inflation”, yaitu inflasi yang didorong oleh kenaikan biaya produksi.

Sedangkan perang Rusia-Ukraina sampai detik ini masih belum menunjukkan kapan berakhir. Ini menjadi persoalan yang sangat berat bagi global, karena Ukraina mempunyai peran sangat besar terhadap pangan dunia, terutama gandum dan biji-bijian yang lain.

Di samping itu, yang tak kalah penting adalah terjadinya perubahan iklim yang luar biasa. Indonesia mengalami El-Nino dan La-Nino, sehingga mempersulit dalam mengkalkulasi hasil produksi pangan seperti beras dan jagung, dan bahan pangan lainnya.

Hal ini membuat anomali terhadap inflasi, yaitu di sisi lain terjadi cosh push inflation, tetapi di sisi lain terjadi supply side inflation.

Pembayaran bunga utang pemerintah dikhawatirkan akan membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024.

Tahun ini, pemerintah akan membayar bunga utang sebesar Rp 497,3 triliun. Pembayaran bunga utang itu meningkat 11,55 persen dari realisasi pembayaran bunga utang di 2023 yang sebesar Rp 439,88 triliun. Tentunya ini menambah kebutuhan dollar AS yang tidak sedikit.

Permasalahan-permasalahan di atas harus diantisipasi dan diwaspadai, walaupun kita tahu bahwa Indonesia jauh dari radius krisis keuangan karena rasio total hutang terhadap PDB hanya sekitar 40 persen. Setengahnya dimiliki oleh sektor korporasi, dan ini yang terendah di dunia.

Terdapat kekhawatiran yang meluas bahwa perlambatan pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang dan pengetatan moneter di Amerika Serikat dapat menyebabkan pergerakan tajam dalam mata uang negara-negara berkembang, sehingga lebih sulit untuk membayar kembali porsi utang korporasi dalam mata uang asing.

Namun, penelitian-penelitian sebelumnya memiliki kemampuan yang terbatas dalam menilai besarnya risiko yang ditimbulkan oleh tren-tren ini, sebagian besar disebabkan oleh tidak adanya tolok ukur yang relevan.

Kita perlu memeriksa keadaan neraca perusahaan di pasar negara berkembang dengan menggunakan ukuran leverage dan kerapuhan keuangan menjelang krisis moneter 1997-1998 sebagai tolok ukurnya.

Mengapa krisis moneter 1997-1998? Secara historis, krisis emerging market disebabkan oleh masalah utang negara. Selain itu, krisis perbankan dan mata uang juga sering terjadi.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Harga Emas Antam: Detail Harga Terbaru Pada Kamis 27 Juni 2024

Harga Emas Antam: Detail Harga Terbaru Pada Kamis 27 Juni 2024

Spend Smart
Tak Hanya PHK, DPR Khawatir Investasi TikTok Permudah Produk China Masuk RI

Tak Hanya PHK, DPR Khawatir Investasi TikTok Permudah Produk China Masuk RI

Whats New
Data Bocor dan Dijual di 'Dark Web', Jubir Kemenhub: Itu Data Lama...

Data Bocor dan Dijual di "Dark Web", Jubir Kemenhub: Itu Data Lama...

Whats New
Stafsus Erick Thohir: Karyawan BUMN Harus Punya Kapabilitas Digital yang Baik

Stafsus Erick Thohir: Karyawan BUMN Harus Punya Kapabilitas Digital yang Baik

Whats New
MITI Berencana Bagi Dividen Rp 10,6 Miliar, Cek Jadwalnya

MITI Berencana Bagi Dividen Rp 10,6 Miliar, Cek Jadwalnya

Whats New
Pasca-Jokowi, Indonesia di Ambang 'Triple' Defisit

Pasca-Jokowi, Indonesia di Ambang "Triple" Defisit

Whats New
Harga Bahan Pokok Kamis 27 Juni 2024, Harga Cabai Merah Keriting Turun

Harga Bahan Pokok Kamis 27 Juni 2024, Harga Cabai Merah Keriting Turun

Whats New
Mutuagung Lestari Bukukan Pertumbuhan Laba 34,66 Persen Pada Kuartal I-2024

Mutuagung Lestari Bukukan Pertumbuhan Laba 34,66 Persen Pada Kuartal I-2024

Whats New
Emiten Kebab Baba Rafi (RAFI) Tebar Dividen Rp 1 Miliar untuk Pemegang Saham

Emiten Kebab Baba Rafi (RAFI) Tebar Dividen Rp 1 Miliar untuk Pemegang Saham

Whats New
Daftar Alat Bantu Kesehatan yang Dijamin BPJS, Apa Saja?

Daftar Alat Bantu Kesehatan yang Dijamin BPJS, Apa Saja?

Whats New
PPATK Temukan Indikasi Transaksi Judi 'Online' lewat Pinjol, Bos OJK Buka Suara

PPATK Temukan Indikasi Transaksi Judi "Online" lewat Pinjol, Bos OJK Buka Suara

Whats New
Hasil Riset: 68 Persen Masyarakat Pertama Kali Akses Kredit Lewat 'Paylater'

Hasil Riset: 68 Persen Masyarakat Pertama Kali Akses Kredit Lewat "Paylater"

Whats New
Sorotan Bank Dunia Terhadap Program Makan Siang Gratis

Sorotan Bank Dunia Terhadap Program Makan Siang Gratis

Whats New
Ditopang Bea Masuk, Penerimaan Bea dan Cukai Batam Tembus Rp 176 Miliar Per Mei 2024

Ditopang Bea Masuk, Penerimaan Bea dan Cukai Batam Tembus Rp 176 Miliar Per Mei 2024

Whats New
BEI Bukukan Laba Bersih Rp 578,67 Miliar pada 2023

BEI Bukukan Laba Bersih Rp 578,67 Miliar pada 2023

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com