Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

KSPI Sebut Indonesia Belum Siap Terapkan Sistem Upah Per Jam, Alasannya?

Kompas.com - 28/12/2019, 17:47 WIB
Ade Miranti Karunia,
Sakina Rakhma Diah Setiawan

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal membenarkan adanya negara-negara maju yang telah menerapkan sistem pembayaran upah per jam.

Meski ada, Indonesia dianggap belum siap menerapkan sistem pengupahan tersebut.

Pasalnya, di negara maju, permintaan dan penawaran tenaga kerja serta angka penganggurannya relatif kecil. Selain itu, sistem jaminan sosialnya sudah layak termasuk adanya unemployment insurance sehingga mereka pindah kerja di pasar kerja relatif mudah.

"Upah per jam itu ada, mayoritas negara industri maju itu menggunakan sistem upah per jam. Tapi dia harus mensyaratkan beberapa hal. Dengan kecilnya itu orang pindah-pindah kerja gampang karena tersedianya lapangan kerja, angka pengangguran kecil dengan demikian upah per jam bisa mengukur produktivitas. Indonesia kan enggak punya itu," ujar Iqbal saat ditemui di Jakarta, Sabtu (28/12/2019).

Baca juga: Serikat Buruh Tolak Sistem Upah Per Jam, Ini Alasannya

Di sisi lain, sistem pengupahan per jam harus menyasar sektor-sektor pekerjaan tertentu. Tidak bisa digeneralisir untuk seluruh jenis pekerjaan.

Semisal, pengemudi ojek online dan kontributor media yang selama ini dibayar per jam atau per berita.

"Menteri Ketenagakerjaan bilang hanya yang jam kerjanya 35 jam doang, sektor apa yang mau disasarkan enggak jelas. Jadi sektor mana yang mau disasar. Menteri ini paham enggak?" tanyanya.

Iqbal menyebut pula, KSPI tetap menolak omnibus law lapangan cipta kerja klaster ketenagakerjaan yang secara langsung berarti melakukan revisi terhadap UU Nomor 13 Tahun 2003.

Ini Khususnya terhadap pasal tertentu, seperti pasal tentang upah, pesangon, tenaga kerja asing (TKA), jam kerja, outsourcing, jaminan sosial, dan lain sebagainya.

Baca juga: Catat, Skema Upah Per Jam Hanya untuk Pekerja Jasa dan Paruh Waktu

Pemerintah berdalih pengupahan per jam akan dihitung berdasarkan produktivitas pekerjanya. Namun, cara itu dianggap tidak akan berjalan lancar.

Apalagi, perumusan RUU Omnibus Law tak pernah melibatkan serikat pekerja dan mengutamakan pendapat para pengusaha.

"Mengukur produktivitas per satu orang buruh aja kita enggak bisa. Mau seenak-enaknya. Wah kacau negara pengusaha ini namanya, super drakula. Coba tanya Bu Ida Fauziah (Menaker) deh cara menghitung produktivitas buruh," ujarnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com