KOLOM BIZ
Konten ini merupakan kerja sama Kompas.com dengan Experd Consultant
Eileen Rachman dan Emilia Jakob
Character Building Assessment & Training EXPERD

EXPERD (EXecutive PERformance Development) merupakan konsultan pengembangan sumber daya manusia (SDM) terkemuka di Indonesia. EXPERD diperkuat oleh para konsultan dan staf yang sangat berpengalaman dan memiliki komitmen penuh untuk berkontribusi pada perkembangan bisnis melalui layanan sumber daya manusia.

Apakah Kamu Baik-baik Saja?

Kompas.com - 10/09/2022, 07:58 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

 

NEGARA Australia menetapkan 8 September sebagai “Are You Okay Day”. Peringatan ini diadakan sebagai pengingat bahwa walaupun kita merasa baik-baik saja secara fisik dan mental, ada orang di sekitar kita yang perlu diperhatikan kesehatan mentalnya.

Dunia pernah dikejutkan dengan tragedi Robin Williams yang mengakhiri hidupnya sendiri. Padahal, dia dikenal sebagai aktor komedi yang kerap membuat orang tertawa sehingga banyak yang berasumsi bahwa hidupnya pun dikelilingi canda tawa.

Dunia bisnis juga pernah kehilangan seorang tokoh muda yang hidupnya terlihat sangat menjanjikan dengan segala prestasinya.

Mantan pemilik perusahaan Zappos yang sukses di usia muda, Tony Hsieh, mengumandangkan nilai-nilai kebahagiaan di perusahaannya serta menjadi penulis dan pembicara di banyak forum mengenai kebahagiaan. Ironisnya, ia ditemukan meninggal dunia akibat membiarkan dirinya terbakar di dalam rumah.

Banyak lagi kisah selebritas yang kita kira hidupnya begitu glamor, ternyata punya masalah mental dan mengakibatkan ia memutuskan bunuh diri. Karenanya, gangguan kesehatan mental memang perlu ditangani dengan serius.

Statistik di Amerika Serikat menunjukkan bahwa 1 dari 4 orang mengalami gangguan kesehatan mental. Pandemi Covid-19 yang melanda dunia pun dinilai membuat angka ini bertambah. Artinya, besar kemungkinan ada orang yang mengalami gangguan mental di sekitar kita.

Gangguan mental adalah kondisi ketika terjadi perubahan keseimbangan pada emosi, pikiran, dan tingkah laku, atau kombinasi antara ketiga aspek ini pada individu. Gangguan ini berdampak pada fungsi individu untuk melakukan aktivitas sosial, kerja, dan keluarga. Karena tidak terlihat secara langsung, kita sering tidak memikirkan konsekuensi dari gangguan kesehatan jiwa.

Pandemi juga memberikan tekanan pada kondisi emosi. Kekhawatiran akan kehilangan pekerjaan, terjangkit penyakit, hingga kehilangan orang-orang yang disayangi membuat mental kita tidak seimbang. Hampir semua dari kita pernah merasakan kehilangan sense of connection selama kurang lebih dua tahun masa pandemi.

Perusahaan pun menyadari bahwa dampak dari terganggunya kesehatan mental karyawan akan memengaruhi kinerja perusahaan. Akhirnya, banyak perusahaan yang kemudian membuat program-program kesehatan mental bagi karyawannya.

Namun, konsultan McKinsey menemukan bahwa program yang dirancang perusahaan sering kali tidak relevan dengan kebutuhan karyawan. Ini membuat karyawan belum merasakan dampak yang optimal dari program-program tersebut.

Eileen RachmanDok. EXPERD Eileen Rachman

Ada beberapa hal yang kiranya perlu kita renungkan untuk membuat program kesehatan mental bagi para karyawan.

1. Komunikasi

Dengan kehadiran berbagai moda komunikasi pada masa sekarang, kita dapat memilih yang paling efektif sesuai kebutuhan kita. Ada yang lebih nyaman berkomunikasi melalui e-mail. Ada yang memilih dengan text chat. Ada pula yang lebih senang berkomunikasi melalui video.

Hal terpenting adalah bagaimana kita dapat merabarasakan gejolak yang sedang terjadi pada setiap anggota kelompok. Apakah ada yang sedang bergembira dan bersemangat? Atau adakah yang sedang sakit, baik dirinya maupun anggota keluarga, yang mungkin menyita perhatiannya?

Kita perlu menghindari sikap masa bodoh yang berasumsi bahwa semua baik-baik saja dan memastikan semangat seluruh anggota kelompok untuk berkontribusi secara aktif.

2. Individu

Setiap individu penting, terlepas dari latar belakang ataupun posisi jabatannya. Pesan ini perlu dirasakan benar oleh setiap insan di dalam organisasi. Organisasi perlu memastikan bahwa setiap atasan dapat memantau kondisi kesehatan mental anggota kelompoknya.

Atasan perlu membuat anggota kelompok merasa penting, didengar, dan diakui. Di sinilah akan terbangun sense of belonging individu terhadap organisasi dan berdampak pada produktivitas mereka.

3. Welas asih

Dalam bisnis, kita sering merasa bahwa kepedulian dan perasaan perlu dikesampingkan. Padahal, bila kita ingin anggota kelompok dapat berkonsentrasi dan berfokus penuh, kita harus menunjukkan sikap ramah dan penuh perhatian kepada mereka. Sebab, mereka akan merasa tenang serta yakin bahwa lingkungan kerjanya memberikan dukungan dan suasana yang positif. Dengan sendirinya, karyawan akan lebih bersemangat untuk berkontribusi.

Contohnya, ada anggota tim yang tidak mencapai targetnya. Atasan memiliki pilihan untuk bersikap tidak mau tahu atau menunjukkan perhatiannya dengan berdiskusi mencari jalan keluar yang dapat membantu mereka untuk mencapai targetnya.

Belas kasih yang diberikan oleh atasan akan memompa semangat anggota tim untuk berusaha lebih keras lagi agar tidak mengecewakan atasan yang sudah sedemikian baik terhadapnya.

Always show compassion. You have no idea how hard it was for a person to show up to work today.”

3. Kejujuran

Tampil apa adanya di tempat kerja, menjaga keterbukaan, dan mengingatkan pada anggota tim bahwa mereka bisa bicara apa saja, akan membuat mereka merasa nyaman. Pemimpin pun perlu menunjukkan sikap dan pengakuan bahwa ia juga tidak sempurna dan mengetahui segalanya.

Kejujuran akan kelemahan yang kita miliki akan membawa kita pada suasana transparansi, aman, dan membangun rasa saling terhubung satu sama lain. Tentunya, kita tidak hanya berhenti pada mengakui kelemahan yang ada, tetapi juga perlu menunjukkan bagaimana cara bangkit kembali dalam melakukan upaya-upaya mengatasi kelemahan tersebut.

Setiap anggota tim pun dapat merasa bahwa mereka tidak sendirian dalam perjuangan mereka untuk menjadi individu yang lebih baik lagi.

4. Budaya berkesadaran

Banyak perusahaan yang berfokus pada produktivitas memang tidak mengangkat kesehatan mental sebagai isu khusus. Orang yang terlihat depresif sering dianggap cengeng. Mereka yang amarahnya meledak-ledak dianggap moody.

Kita sebetulnya bisa menggunakan kondisi tersebut sebagai dasar untuk melakukan diskusi terbuka dengan individu terkait, mencari cara bagaimana mereka dapat mengekspresikan emosinya dengan lebih tepat, dan mengangkat produktivitasnya.

Kita juga bisa mengingatkan pada setiap karyawan bahwa bila ia tidak bisa menanggulangi gangguan mentalnya, ia perlu mencari pertolongan tanpa perlu merasa malu, aneh, atau bahkan asing.

Perusahaan pun perlu memberikan dukungannya melalui referensi dan waktu lebih kepada para karyawan yang membutuhkan. Eliminating the stigma around mental health conditions starts at the top.


komentar di artikel lainnya
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com