KOLOM BIZ
Konten ini merupakan kerja sama Kompas.com dengan Experd Consultant
Eileen Rachman dan Emilia Jakob
Character Building Assessment & Training EXPERD

EXPERD (EXecutive PERformance Development) merupakan konsultan pengembangan sumber daya manusia (SDM) terkemuka di Indonesia. EXPERD diperkuat oleh para konsultan dan staf yang sangat berpengalaman dan memiliki komitmen penuh untuk berkontribusi pada perkembangan bisnis melalui layanan sumber daya manusia.

Tumbuh, Bergaul, dan Selesaikan Tugas

Kompas.com - 01/07/2023, 08:03 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SEORANG kepala divisi yang berprestasi mengeluhkan kesulitannya dalam bekerja sama dengan divisi lain. Padahal, setiap individu dalam organisasi sadar bahwa mereka harus bekerja sama untuk mencapai tujuan organisasi.

Banyak yang bisa menjadi alasan timbulnya keengganan untuk bekerja sama dengan yang lain, mulai dari perbedaan kepentingan, tujuan, prioritas, sampai ganjalan akibat konflik pada masa lalu.

Namun, kalau ditelaah lebih lanjut, banyak ketegangan yang terjadi sebenarnya berasal dari cara berkomunikasi pihak-pihak yang terlibat.

Baca juga: Baper

Kegagalan berkomunikasi yang terdengar sederhana tersebut tidak bisa dianggap sepele karena dalam jangka panjang dapat menimbulkan kelelahan emosional. Pengambilan keputusan pun akhirnya sering tertunda dan berdampak pada kinerja organisasi.

Setiap individu tentu memiliki point of view. Sayangnya, tidak semua orang mampu menyampaikan point of view-nya dengan baik.

Padahal, penyampaian yang tepat dapat membuat pihak lain memahami urgensi dari point of view tersebut dengan baik.

Memang, mereka yang memiliki kemampuan komunikasi terbatas sulit menggambarkan sudut pandangnya dengan baik. Penerima pesan yang juga memiliki point of view-nya sendiri pun bisa jadi sudah memiliki “tembok-tembok” yang tidak mudah ditembus.

Baca juga: Memimpin Pertumbuhan

Bagaimana orang-orang yang berbeda ini dapat berkolaborasi ketika kelancaran komunikasi dan pertukaran informasi menjadi kunci dalam kesuksesan kolaborasi?

Dilema kolaborasi

Banyak yang merasakan bahwa masyarakat kita semakin lama terasa semakin individualis dan detached dengan sesamanya. Kodrat manusia sebagai makhluk sosial sebenarnya memiliki kebutuhan dasar untuk mengadakan bonding interpersonal dengan hidup bersama orang lain.

Ketika terjadi lockdown yang mengharuskan manusia untuk menjaga jarak satu sama lain demi alasan kesehatan, beragam aplikasi dan perangkat elektronik baru diciptakan untuk membuat kebersamaan tetap dapat terjalin, meskipun tidak hadir secara fisik.

Baca juga: Strategi Pengembangan Employee Experience

Organisasi pun menuntut individu untuk dapat berkolaborasi. Teamwork menjadi salah satu kompetensi penting yang selalu dinilai ketika merekrut para fresh graduate.

Di lain sisi, meskipun dituntut untuk bekerja bersama dalam kelompok, organisasi justru lebih banyak memberikan reward secara individual.

Dari situlah konflik sering terjadi. Untuk dapat melakukan kolaborasi bersama, dibutuhkan keterampilan tertentu yang perlu diasah dan dipraktikkan.

Mendengar dengan hati

Banyak orang merasa bahwa mereka cukup pandai mendengar. Namun, banyak riset membuktikan bahwa pada umumnya, manusia kurang mendengar.

Eileen Rachman.Dok. EXPERD Eileen Rachman.
Sering kali kita sudah melupakan apa yang dikatakan orang tidak lama setelah mereka menyelesaikan kalimatnya.

Itu bukan salah kita. Otak kita mampu menyerap 400 kata per menit.

Padahal, secepat-cepatnya orang berbicara, ia hanya bisa mengucapkan 125 kata per menit.

Baca juga: Manajemen Pascapandemi

Dalam rentang waktu itu, pendengar akan mengisi otaknya dengan asupan lain yang sering kita sebut sebagai “noise” karena tidak berhubungan dengan pembicaraan yang sedang terjadi.

Untuk dapat benar-benar mendengar, pendengar perlu memiliki self-awareness bahwa ia harus berfokus mendengar dengan rendah hati sehingga dapat menangkap “inti” pesan lawan bicara dengan sempurna.

Bertanya untuk menambah informasi

Kunci dari memahami adalah dengan bertanya. Namun, ada berbagai macam pertanyaan. Ada pertanyaan yang menjebak, ada pertanyaan yang menyelidik, ada pertanyaan yang menekan, ada pertanyaan hanya untuk mengonfirmasi apa yang sudah diketahui serta diyakini, dan ada pula pertanyaan yang bertujuan untuk menambah informasi.

Baca juga: Budaya Apresiatif

Lawan bicara tentu akan menjawab pertanyaan yang diajukan untuk kepentingan menambah informasi dengan senang hati apabila di dalamnya tidak ada kesan menyerang.

Kita perlu berlatih menggunakan kalimat-kalimat tanya yang bersifat mengundang diskusi, seperti “bagaimana kalau…” atau “apakah ada kemungkinan atau alternatif….”

Lewat pertanyaan-pertanyaan tersebut, seseorang dapat menggali lebih dalam pandangan lawan bicara. Dengan mengajukan pertanyaan yang baik, kita bisa mendapatkan ide-ide baru dari pihak lain. Di sinilah kekuatan inklusi terbangun, yaitu bagaimana kita mengadopsi keberagaman dan menciptakan ide baru yang inovatif.

Tantang asumsi

Individu yang merasa sudah tahu sering kali sulit mengalah pada informasi baru yang menentang keyakinannya. Semakin banyak kita tahu, maka semakin tidak fleksibel kita untuk menerima perspektif orang lain yang berbeda. Kita merasa memegang kebenaran, walaupun tidak tertutup kemungkinan bahwa kita tidak benar.

Baca juga: Memaknai Nilai Korporasi

Dengan berlatih menantang dan mempertanyakan asumsi serta keyakinan, kita dapat menjaga bias dan terbuka terhadap pendapat orang lain.

Mewarnai ketidaksepakatan dengan respek

Ketidaksepakatan di tempat kerja itu baik. Hal itu merupakan pertanda bahwa ada banyak pemikiran yang dapat mendukung majunya perusahaan.

Namun, kita perlu membudayakan debat yang sehat dan menjaga psychological safety saat bertemu dengan kondisi tersebut.

Baca juga: Berlomba dengan AI

Ada penelitian yang menemukan bahwa 90 persen perawat tidak pernah melawan keputusan dokter walaupun mereka sebenarnya memiliki pendapat lain yang mungkin dapat membantu menyelamatkan jiwa pasien. Bayangkan bahayanya bila kita hanya patuh pada satu pemikiran.

Perluas lingkaran empati

Kita sadar bahwa dalam kehidupan sosial di mana pun selalu ada mentalitas “kita” dan “mereka”. Akibatnya, empati pun bisa pilih kasih. Kita cenderung mudah memaklumi dan memaafkan pada kesalahan anggota “kita”, di sisi lain menjadi sangat kritis terhadap “mereka”.

Bayangkan, betapa sulitnya berkolaborasi bila empati pun masih pilih-pilih seperti itu. Namun, kabar baiknya adalah kita bisa memperluas empati kita kepada “mereka” dengan mengambil sikap seorang pembelajar yang senantiasa terbuka terhadap ide tanpa memandang siapa pencetusnya.

Baca juga: Zoom In–Zoom Out

Jamil Zaki dalam bukunya The War for Kindness mengatakan, “Free our empathy from its evolutionary bonds."

Jadi, sebenarnya, landasan berkolaborasi ini bukan rocket science. Potensinya sudah ada di dalam diri kita masing-masing, tinggal dilatih terus sehingga kekuatan kolaborasi kita bertambah.

If we don’t learn how to activate our collective intelligence, we’ll all end up banished to our individual caves. And that’s no way to work – or win.

 

 


Terkini Lainnya

komentar di artikel lainnya
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com