Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
R Graal Taliawo
Pegiat Politik Gagasan

Doktor Ilmu Politik dari Universitas Indonesia

 

Hilirisasi Perikanan Maluku Utara

Kompas.com - 02/12/2023, 11:04 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

POTENSI perikanan Maluku Utara tidak diragukan, bahkan digadang sebagai poros maritim Nusantara. Peluang ekonomi tersaji di depan mata.

Namun, ada berbagai tantangan yang menanti diselesaikan. Perlu ada kebijakan komprehensif dari hulu hingga hilir supaya kita bisa berdaya dan sejahtera melalui sektor perikanan yang melimpah ini.

Hilirisasi/industrialisasi perikanan layak menjadi master plan. Ini bisa mendatangkan manfaat yang luar biasa bagi masyarakat Maluku Utara dan Indonesia umumnya.

Indonesia melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur menetapkan wilayah perairan Maluku Utara masuk dalam tiga Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI), yakni 715, 716, dan 717.

Dengan ini, pemanfaatan dan potensi penghasilannya tidak main-main. Mongabay.co.id (2023) merilis potensi WPP di 3 kategori tersebut mencapai 1.714.158 ton.

Jerat masalah

Fakta tak seindah di negeri dongeng. Pemanfaatan belum dilakukan secara optimal. Produksi perikanan tangkap di laut Maluku Utara pada 2021 hanya mencapai 361.501 ton dengan nilai Rp 8.151.120.398.000 (malut.bps.go.id).

Sekelumit masalah menghampiri masyarakat Maluku Utara dan wilayah kelautannya. Mulai dari ekosistem laut yang tercemar, fasilitas melaut termasuk keselamatan nelayan yang belum memadai, jerat tengkulak yang mencekik, proses pengolahan yang masih minim, hingga “ancaman” kapal asing.

Beberapa wilayah laut di Maluku Utara diduga tercemar limbah industri (Kompas, 7/11/2023). Pencemaran ini akan mengganggu kualitas hidup masyarakat, berpotensi merusak ekosistem perairan, pun kualitas hasil tangkapan akan menurun.

Yang paling dirasakan nelayan, ikan menjauh ke tengah laut. Hanya kapal bertonase besar yang mampu menjangkau—melaut dengan jarak jauh. Sayangnya, kebanyakan nelayan kita justru tidak memilikinya.

Demi melaut dan mendapat penghasilan, mereka harus menyewa kapal sesuai ukuran yang dibutuhkan.

Selain waktu, nelayan perlu mengeluarkan ekstra biaya operasional untuk bahan bakar minyak (BBM) dan persediaan selama melaut.

Masalah keselamatan nelayan yang sering diabaikan patut diperhatikan. Mereka kerap menerjang gelombang tinggi dengan peralatan dan perlengkapan melaut seadanya. Banyak kasus nelayan hilang yang biasanya dengan sampan/kapal kecil.

Setiba di darat, masih ada masalah. Karena kapal sewaan, maka hasil tangkapan dibagi dengan pemilik kapal. Selebihnya, biasanya harus dijual ke tengkulak karena mereka berutang biaya operasional untuk melaut.

Harga jual lebih sering rendah dibanding harga pasar. Apesnya lagi, harga pasar pun tidak melulu bagus. Kadang mereka tak punya pilihan selain menjualnya, karena cold storage terbatas.

Masalah masih berlanjut. Sebagian besar warga belum mengolah hasil perikanan supaya punya nilai tambah.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com