Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Prof. Dr. Nugroho SBM
Dosen Universitas Diponegoro

Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro Semarang

Memahami "Greenflation" atau Inflasi Hijau

Kompas.com - 22/01/2024, 07:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DALAM debat calon wakil presiden (cawapres) keempat yang berlangsung Minggu (20/1/2024) malam, ada pertanyaan dari cawapres 02 Gibran Rakabuming Raka kepada cawapres 03 Mahfud MD soal greenflation atau inflasi hijau.

Tampaknya Mahfud MD agak kesulitan menjawabnya. Oleh karena itu, perlu dibahas apa yang dimaksud dengan greenflation atau inflasi hijau tersebut.

Fenomena inflasi hijau muncul ketika banyak negara, baik pemerintah maupun dunia usahanya, menerapkan teknologi yang ramah lingkungan, khususnya dan ekonomi hijau pada umumnya.

Secara sederhana inflasi hijau adalah inflasi kenaikan bahan-bahan logam dasar dan mineral yang diperlukan untuk menggunakan teknologi yang hijau atau ramah lingkungan terutama saat masa transisi.

Ada beberapa logam dasar dan mineral yang diperlukan untuk penggunaan teknologi, antara lain tembaga, litium, dan kobalt.

Kebutuhan logam dasar dan mineral untuk teknologi ramah lingkungan ini lebih besar dari kebutuhan untuk teknologi yang tidak ramah lingkungan.

Beberapa contoh bisa dikemukakan di sini. Kendaraan listrik menggunakan mineral enam kali lebih banyak dibanding kendaraan konvensional.

Pembangkit listrik tenaga angin lepas pantai membutuhkan tembaga tujuh kali lebih besar dibanding pembangit listrik tenaga gas.

Harga beberapa logam dasar dan mineral yang diperlukan mengalami kenaikan yang tinggi karena kebutuhan yang besar tidak diimbangi pertambahan pasokan atau suplai yang mencukupi.

Untuk menambah pasokan dengan mengembangkan tambang baru dibutuhkan waktu lima tahun hingga 10 tahun.

Contoh kenaikan harga bahan logam yang tinggi sekali terjadi pada litium. Harga litium naik 1.000 persen dari tahun 2020 hingga 2022.

Fenomena greenflation ini telah memicu demo di negara-negara Eropa. Salah satunya adalah demo rompi kuning di Perancis seperti diisebut oleh Gibran.

Bagaimana dengan Indonesia?

Tampaknya untuk Indonesia, greenflation belum terjadi karena penggunaan teknologi hijau atau teknologi ramah lingkungan belum masif atau terjadi secara besar-besaran.

Namun, ada baiknya memang greenflation perlu diantisipasi ke depannya karena mau tidak mau teknologi hijau atau ramah lingkungan akan makin masif diterapkan di Indonesia.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com