Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Wasiaturrahma
Guru Besar di FEB Universitas Airlangga

Pengamat Moneter dan Perbankan, Aktif menulis beberapa buku, Nara sumber di Radio dan Telivisi ,seminar nasional dan internasional juga sebagai peneliti

Prospek Inflasi Global di Tengah Ketidakpastian Geopolitik

Kompas.com - 20/02/2024, 10:19 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

EKONOMI global sedikit menguat dan terbukti cukup handal, tetapi diduga akan terpuruk tahun ini akibat tekanan perang, inflasi, dan suku bunga yang masih tinggi.

Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), yang berbasis di Paris, meramal pertumbuhan internasional akan melamban ke 2,7 persen pada 2024 dari laju sebesar 2,9 persen tahun 2023.

Hal ini merupakan pertumbuhan tahunan terendah sejak terjadi pandemi pada 2020.

Meskipun prospek suram, OECD “memproyeksikan resesi akan bisa dihindari,” demikian menurut Sekjen OECD Mathias Corman.

Namun, Corman menambahkan, ada risiko inflasi akan tetap tinggi serta konflik Israel Vs Hamas dan perang Rusia Vs Ukraina berpengaruh pada harga komoditas seperti minyak dan gandum.

Faktor penting dalam perlambanan ini adalah dugaan OECD bahwa kedua ekonomi terbesar di dunia, AS dan China, akan menurun pertumbuhannya.

Ekonomi AS diramalkan hanya akan tumbuh 1,5 persen pada 2024, dari 2,4 persen pada 2023, akibat kenaikan suku bunga sebanyak 11 kali oleh Fed yang masih terus menghambat pertumbuhan global.

Prospek global masih suram

Inflasi di Amerika Serikat saat ini sebesar 3.4 persen, dan suku bunga kebijakan The Fed sebesar 5,25-5,5 persen. Hal ini menempatkan tingkat bunga riil sekitar 2 persen.

Sejauh ini, tingkat tersebut tampaknya tidak menimbulkan dampak negatif signifikan terhadap pertumbuhan PDB maupun lapangan kerja.

Meskipun The Fed memutuskan pada pertemuan pertama tahun 2024 untuk mempertahankan suku bunga acuannya tidak berubah, pasar telah memperkirakan target inflasi 2 persen akan kembali pada akhir tahun.

Jika The Fed menurunkan tingkat diskonto sebesar 1,5 persen tahun ini, ke kisaran 4 persen, maka tingkat bunga riil akan bertahan di sekitar 2 persen.

Jalur penurunan suku bunga ini, enam kali penurunan sebesar 25 basis poin pada 2024, konsisten dengan ekspektasi pasar, dan agak lebih agresif dibandingkan proyeksi The Fed, menurut dot plot terbarunya.

Ekspektasi suku bunga baik nominal maupun riil setelah tahun 2024 tampaknya lebih bermasalah.

Dot plot mengantisipasi penurunan suku bunga lebih lanjut secara signifikan pada 2025 dan 2026. Jika perkiraan tersebut berhasil, tingkat bunga riil akan turun dan menetap pada (atau mendekati) 0,5 persen.

Hal ini nampaknya sangat tidak mungkin terjadi, mengingat masih adanya kendala struktural pada sisi pasokan, yaitu termasuk kekurangan tenaga kerja, penuaan populasi, penurunan produktivitas, dan meningkatnya biaya yang disebabkan oleh ketegangan geopolitik, guncangan, serta diversifikasi jaringan pasokan global yang cepat dan mahal.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com