Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Wapres Kalla Sindir Listrik Panas Bumi Lamban, Ini Kata Dirut Geo Dipa

Jusuf Kalla menilai, pengembangan listrik berbasis panas bumi sangat lamban karena selama 35 tahun hanya sebesar 2.000 megawatt realisasinya.

Sindiran Kalla disampaikan di hadapan Pelaksana Tugas (Plt) Dirut PLN Sripeni Inten Cahyani dan Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar.

Pihak PLN sendiri kemudian mengatakan jika saat ini pengembangan listrik panas bumi terkendala tingginya harga lantaran pembangunan infrastruktur pembangkit panas bumi tergolong mahal. Sementara daya beli masyarakat Indonesia berbeda dengan negara maju. Masyarakat Indonesia sendiri menyukai energi murah dalam skema subsidi.

PLN mengupayakan agar pembangunan transmisi dibiayai dulu oleh pengembang, baru kemudian direimburse oleh pemerintah. Misal di PLTA Poso.

Insentif ke pengembang

Sementara dalam ringkasan eksekutif Ditjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (Ditjen EBTKE) Kementerian ESDM "Roadmap Pengembangan Energi Panas Bumi Indonesia: Energi Hijau, Berkelanjutan, dan Berkeadilan 2019-2030" menyebutkan jika ada hal yang mengganjal pengembangan listrik panas bumi.

Yakni, Pengembang menanggung biaya infrastruktur yang sebenarnya menjadi tanggung jawab Pemerintah. Kemudian upfront-risk dan kebutuhan investasi awal yang besar.

Kemudian, beberapa lokasi potensi panas bumi berada di kawasan konservasi. Lalu daya beli masyarakat yang relatif rendah, dan ketimpangan antara kebutuhan listrik setempat dengan sumber daya energi panas bumi yang ada.

Selain itu, pengembang panas bumi di Indonesia juga menghadapi sejumlah risiko seperti risiko ketidakpastian kondisi sumber daya panas bumi. Risiko kenaikan biaya proyek. Risiko dampak sosial. Serta, risiko perubahan regulasi.

ESDM sendiri menyatakan jika diperlukan insentif khusus, yang berupa reimburse atas biaya-biaya yang seharusnya tidak ditanggung pengembang pembangkit panas bumi. Hal ini senada dengan yang diupayakan PLN.

Feed in Tariff

Bagaimana PT Geo Dipa Energi (Persero) menanggapi sindiran Wapres Kalla, serta menanggapi roadmap ESDM dan upaya PLN?

Direktur Utama Geo Dipa Energi Riki Ibrahim mengatakan, untuk penetapan harga energi baru terbarukan (EBT) panas bumi diperlukan feed in tariff (FiT) hanya 10 tahun saja.

Penetapan itu, tidak boleh lebih dari 10 tahun dan setelah 10 tahun harus mengikuti persaingan sesuai biaya pokok penyediaan (BPP) listrik oleh PLN di lokasi pengembangan EBT panas bumi.

Menurut Riki, hal itu karena BPP PLN setempat pada saat 10 tahun mendatang itu sudah akan cukup memberikan keuntungan yang wajar kepada pengembang EBT panas bumi.

"Disamping itu, alasan ini juga mempertimbangkan masukan KPK terhadap potensi kerugian negara atas kontrak dengan FiT selama 30 tahun karena satu harga tinggi dan panjang," kata dia melalui keterangannya ke Kompas.com, Minggu (18/8/2019).

Alasan lain, FiT selama 10 tahun juga lantaran rentang waktu tersebut merupakan rata-rata pengembalian pinjaman pengembang panas bumi ke bank.

Riki berpendapat jika FiT selama 10 tahun juga sesuai dengan masukan ESDM dalam Roadmap Panas Bumi 2019-2030 yang disampaikan ke Menteri Keuangan RI.

"Pemerintah diharapkan mempertimbangkan insentif pembangunan infrastruktur, insentif pencegahan risiko ekonomi, dan insentif lingkungan dengan total sekitar 9 cent per kWh yang ditambah harga BPP PLN sebagai harga keekonomian proyek," ujar Riki.

Lebih lanjut menurut Riki, harga EBT panas bumi dan berjalannya proyek baru panas bumi memang diperlukan untuk menjalankan tercapainya PP Kebijakan Energi Nasional (KEN), UU Panas Bumi, UU Energi, juga UU Perubahan Iklim yg disampaikan di Perjanjian Paris.

"Subsidi Listrik PLN setiap tahun naik dan ini tidak bisa dihindari karena berbagai macam alasan teknis dan nilai tukar dollar AS ke rupiah. Mendorong proyek EBT hari ini dipastikan tidak ada rugi dan dosanya karena berbagai macam manfaat akan didapat dibandingkan dengan mudaratnya," lanjut Riki.

Riki juga mengajak semua pihak untuk menyepakati usulan range atau batas atas - bawah harga EBT proyek baru yang lebih berkeadilan dan disesuaikan dengan insentif di atas, sebagai fair price untuk awal proyek saja atau 10 tahun.

Harapan Wapres Kalla

Sebelumnya dalam pidatonya di konferensi internasional pengembangan listrik geotermal di Jakarta Convention Center, Senayan, Jakarta, 13 Agustus 2019 lalu, Wapres Jusuf Kalla meminta ESDm dan PLN berhenti membuat pameran tentang panas bumi.

"Sehingga lain kali berhenti dulu bikin pameran, ke lapangan saja semua dulu. Masih banyak pameran kita (isinya) jalan-jalan juga. Kalau konferensi apa sih yang dikonferensikan? Semua bikin seminar itu-itu juga yang dibacakan, apa (ada) yang lain?" ujar Jusuf Kalla.

Dia berharap, ke depan pengembangan listrik berbasis panas bumi lebih progresif sehingga mampu memenuhi target pemenuhan kebutuhan listrik berbasis energi terbarukan (EBT) sebesar 25 persen pada 2025.

Karena itu, Kalla meminta pihak terkait untuk mempelajari teknologi listrik berbasis panas bumi ke negara-negara yang telah mempraktikannya, seperti Selandia Baru dan Eslandia.

"Kalau pengetahuan ini belajar saja dari Eslandia, New Zealand, atau Amerika tentang teknologi. Tidak ada yang berat, apalagi kalau cuma 10 megawatt apa susahnya itu," kata Wapres.

https://money.kompas.com/read/2019/08/18/171100926/wapres-kalla-sindir-listrik-panas-bumi-lamban-ini-kata-dirut-geo-dipa

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke