Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Pertumbuhan Ekonomi Minus 5,32 Persen: Sekali Lagi, Tolong Kendalikan Pandeminya

BADAN Pusat Statistik (BPS), Rabu (5/8/2020), merilis angka pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan II-2020 sebesar minus 5,32 persen dibandingkan triwulan II-2019, atau year on year (yoy). Dibandingkan dengan triwulan I-2020, atau quarter to quarter (qtq), angkanya minus 4,19 persen.

Dengan kontraksi ekonomi sebesar itu, saya sarankan untuk kesekian kalinya, tolong atasi pandemi Covid-19 ini terlebih dulu. Minimal, agar transmisi penyakitnya bisa dikendalikan selama vaksin dan obat belum ditemukan.

Tolok ukur minimalnya adalah jumlah kasus harian tidak melebihi kapasitas rumah sakit dalam menangani pasien Covid-19 dan pasien lainnya. Syukur-syukur, bisa seperti Selandia Baru, Taiwan, dan Vietnam, yang jumlah kasus hariannya nol atau di bawah 10 selama beberapa pekan.

Alasannya, sesuai konstitusi, negara wajib menjaga keselamatan rakyatnya. Selain itu, perekonomian akan diuntungkan jika pandemi teratasi lebih awal.

Sebagai argumentasi, saya kutip studi Correia, Luck, Verner (2020). Temuan mereka, kota-kota di Amerika Serikat (AS) yang dengan cepat dan agresif mengambil langkah kesehatan non-farmasi ternyata ekonominya meningkat setelah pandemi flu pada 1918.

Langkah non-farmasi ini disebut non-pharmaceutical interventions (NPIs). Jaga jarak fisik termasuk di dalamnya.

Ada lagi studi Bodenstein, Corsetti, Guerrieri (2020). Temuannya—berdasarkan analisis terhadap Tabel Input-Output AS—, tanpa jaga jarak sosial (fisik), penurunan output, utilisasi kapasitas, dan investasi bisa dua kali lipat dari kondisi jika jaga jarak dijalankan dengan benar.

Perlu saya garis bawahi, para penulis itu bukan dokter atau ahli kesehatan. Mereka adalah ekonom dan pakar keuangan yang bekerja di the Federal Reserve System (The Fed), MIT, dan University of Cambridge.

Bukti lain adalah pengalaman Taiwan selama pandemi Covid-19. Taiwan sangat rentan karena jaraknya hanya 130 km dari China daratan.

Pada 2019, ada 2,71 juta turis China datang ke Taiwan. Sekitar 850.000 warga negara Taiwan tinggal di China, dan 404.000 bekerja di sana.

Taiwan bergerak cepat dengan lockdown, tes, dan tracking yang masif, serta langkah kesehatan lainnya. Hasilnya, sejak 26 April 2020, kasus harian di Taiwan nol, dan hingga hari ini hanya di bawah 10.

Jumlah total kasus di Taiwan hanya 476, atau 2 kasus per 100.000 penduduk. Jumlah penduduk Taiwan 23,6 juta.

Dari sisi ekonomi, hasilnya impresif. Pada saat puncak lockdown, ekonomi Taiwan masih tumbuh 1,59 persen yoy di kuartal I-2020. Untuk kuartal II-2020, pertumbuhan ekonomi Taiwan hanya minus 0,73 persen yoy.

Membedah pertumbuhan

Untuk Indonesia, jika pertumbuhan kuartal II-2020 dibedah, semakin jelas bahwa perekonomian kita sangat butuh pandemi ini dikendalikan.

Sebagai bukti, mari kita lihat PDB menurut pengeluaran. Saya monitor sejak 1998, angka pertumbuhan ekonomi dan konsumsi rumah tangga biasanya tidak banyak berbeda. Pergerakannya pun searah.

Pada 2020 pun demikian. Pada kuartal I-2020, konsumsi tumbuh 2,83 persen sementara ekonomi tumbuh 2,97 persen.Pada kuartal II-2020, konsumsi terkontraksi minus 5,51 persen, ekonomi minus 5,32 persen.

Konsumsi menyumbang 55-60 persen dari PDB. Pada kuartal II-2020 angkanya 57,9 persen.

Jika dibedah lebih dalam, semua jenis konsumsi tumbuh minus. Konsumsi restoran dan hotel serta transportasi dan komunikasi malah minus dua digit, yaitu minus 16,5 persen dan minus 15,5 persen.

Efeknya, semua penjualan eceran terkontraksi. Mulai dari makanan, pakaian, hingga budaya dan rekreasi.

Bahkan, penjualan rokok yang biasanya tahan banting pun anjlok. Penjualan wholesale untuk mobil dan motor terkontraksi. Demikian juga dengan transaksi kartu kredit, debit, dan uang elektronik. 

Dibanding konsumsi, pembentukan modal tetap bruto (PMTB) atau investasi relatif lebih lemah hubungannya dengan pertumbuhan ekonomi.

Namun, peranan investasi ini cukup besar, hingga kuartal II-2020 mencapai hampir 31 persen dari PDB. Semua jenis PMTB tumbuh minus, bahkan mencapai minus 34 persen untuk kendaraan.

Pemerintah menyebut Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sebagai pemicu pertumbuhan serba minus ini. Bahkan, Presiden sempat berkata, jika lockdown dilakukan, mungkin pertumbuhan bisa minus 17 persen.

Ini adalah pandangan yang keliru dan myopic. Studi yang saya kutip di atas serta kinerja Taiwan adalah buktinya.

Memang PSBB membatasi pergerakan orang, sehingga otomatis konsumsi dan investasi terganggu. Namun, di Indonesia PSBB kan sangat longgar. Pergerakan orang tetap tinggi.

Bahkan, meski kasus masih naik, PSBB dipaksakan dibuka pada awal Juni 2020. Jadi, hampir sepertiga dari periode kuartal II-2020 itu tanpa PSBB atau hanya sekadarnya. Toh, kontraksi ekonomi tetap tinggi.

Masalahnya bukan di PSBB. Masalahnya adalah rendahnya kepercayaan atau confidence dari konsumen dan investor, karena Indonesia dinilai jelek dalam mengatasi pandemi.

Jumlah kasus Covid-19 Indonesia hingga 5 Agustus adalah 116.871 atau lebih dari 43 kasus per 100.000 penduduk. Penduduk Indonesia 269,6 juta. Jadi sebagai proporsi jumlah penduduk, kasus di Indonesia lebih dari 20 kali lipat Taiwan.

Pers negara maju menilai negatif Indonesia dalam urusan pandemi. Cukup banyak artikelnya.

Terakhir, majalah Forbes menempatkan Indonesia pada urutan 97 dari 100 negara, dari sisi aman tidaknya terhadap Covid-19. Ini jauh di bawah Singapura (4), Vietnam (20), Malaysia (30), Thailand (47), dan Filipina (55).

Kita lebih jelek dari Myanmar (83), Bangladesh (84), bahkan dari Brasil (91) yang presidennya kontroversial.

Semua laporan itu jelas merusak kepercayaan. Bagaimana investor dan turis asing mau datang jika mereka membaca berita seram tentang Covid-19 di Indonesia?

Bagaimana konsumen domestik percaya diri berbelanja jika takut tertular virus? Bagaimana perusahaan nyaman beroperasi normal?

Sekali ada kasus positif di pabriknya, goodwill perusahaan ambruk. Mereka bahkan harus tutup operasi beberapa pekan.

Pemerintah bermaksud menggenjot ekonomi melalui dana pemulihan ekonomi nasional (PEN). Namun, jangan lupa, konsumsi pemerintah itu hanya 8,7 persen dari PDB.

Mau digenjot dua kali lipat pun, belanja PEN tetap sulit mengganti peran konsumsi dan PMTB.

Jadi, yang harus dipulihkan itu kepercayaan konsumen dan pelaku usaha. Itu baru pulih jika Indonesia dinilai bagus dalam pengendalian pandemi.

Karena itu, pemerintah jangan salah prioritas. Langkah kesehatan masyarakat harus dijadikan prioritas utamanya, ekonomi menyusul.

Irit bicara

Saya juga mengimbau agar Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Menkeu Sri Mulyani, dan Gubernur BI Perry Warjiyo jangan mengobral prediksi di publik. Karena, prediksi mereka meleset dan berubah-ubah.

Untuk kuartal I-2020, Menkeu memprediksi pertumbuhan 4,5-4,7 persen, sementara proyeksi BI 4,4 persen. Angka BPS 2,97 persen. Jadi, melesetnya jauh sekali, yaitu 1,4-1,7 persen.

Untuk kuartal II-2020, perkiraan Menkeu sering berubah. Antara pertengahan Juni 2020 hingga 20 Juli 2020, prediksi Menkeu bervariasi dari minus 3,1 persen (16/6/2020) hingga minus 5,08 persen. Selang prediksinya lebar, hingga 2 persen. Menko Airlangga juga pernah menyebut angka minus 3,4 persen.

Di gedung DPR pada 15 Juli 2020, Menkeu menyebutkan selang minus 3,5 persen hingga minus 5,1 persen, dengan titik tengah 4,3 persen. Namun, Presiden Jokowi mengutip angka minus 4,3 persen saat memberi pengarahan kepada para gubernur di Istana Bogor. Presiden pun meleset karena menerima prediksi yang tidak akurat.

Di tengah pandemi seperti ini, sangat sulit sekali membuat prediksi ekonomi. Semua ekonom, termasuk saya, bisa salah total dalam prediksi.

Karena itu, pejabat ekonomi sebaiknya irit bicara prediksi agar tidak merusak krebilitas pemerintah dan kepercayaan konsumen dan pelaku usaha.

Referensi:

  • Bodenstein M, Corsetti G, Guerrieri L. Social distancing and supply disruptions in a pandemic. May 2, 2020. Cambridge-INET Working Paper Series No: 2020/17 Cambridge Working Papers in Economics: 2031.
  • Correia S, Luck S, Verner E. Pandemics depress the economy, public health interventions do not: evidence from the 1918 Flu. Published online on March 30, 2020.

https://money.kompas.com/read/2020/08/06/122846926/pertumbuhan-ekonomi-minus-532-persen-sekali-lagi-tolong-kendalikan-pandeminya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke