Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

[TREN HUMANIORA KOMPASIANA] Anak adalah Point of References | Gapyear: Stigma, Doa, dan Cerita

KOMPASIANA—-Anak merupakan sebuah prioritas bagi para orangtua. Mereka berhak untuk dipenuhi hak-hak dasar hingga pendidikannya.

Karenanya, orangtua perlu memiliki prinsip point of reference terhadap anak. Prinsip ini penting demi keberlangsungan masa depan anak.

Point of reference, atau titik acuan, demi memenuhi enam aspek perkembangan anak, yakni nilai moral dan agama, fisik dan motorik, kognitif, sosial emosional, bahasa, dan seni.

Perkembangan keenam aspek inilah yang menjadi perhatian orangtua, baik pada pendidikan formal, dan nonformal.

Kemudian pada orangtua sendiri bukan berarti tanpa timbal balik. Dengan memegang prinsip tadi, para orangtua secara naluriah akan tertuntut ke penguasaan pengetahuan dan keterampilan yang lebih luas, terutama berurusan dengan anak.

Sebab, menumbuhkembangkan anak dengan segala potensinya, maka orangtualah yang terlebih dahulu belajar dan berkembang. Proses ini akan berkait dengan pengembangan anak sendiri.

Selain mengenai prinsip orangtua terhadap anak, ada juga tentang peran orangtua dalam pendidikan ana di tengah kondisi pandemi covid-19 serta pembahasan seputar gapyear.

Berikut konten-konten menarik dan populer kanal Humaniora di Kompasiana:

1. Ketika Anak adalah Point of References dalam Kehidupan Berkeluarga

Kompasianer Muksalmina berpendapat bahwa memiliki anak berarti bersiap menjadikan anak sebagai point of references alias titik acuan dalam setiap sendi kehidupan keluarga.

Dikatakannya, sebiaknya segala perencanaan visi rumah tangga hingga aktivitas dan proses belajar yang dilakukan oleh para orangtua tak lepas bertitik dari anak itu sendiri.

Menurut dia, setidaknya, ada beberapa aspek kehidupan rumah tangga yang dapat meletakkan anak pada posisi sebagai titik tolak.

Pertama, pemenuhan kebutuhan dasar. Pada aspek ini sudah menjadi kesepakatan umum. Bila berbicara mengenai anak, maka kriteria makanan yang dibutuhkan akan punya label spesial, yaitu makanan bergizi.

Sebab, bagaimana mungkin akan mengejar kebutuhan lain semisal eksistensi, bila hal yang paling mendasar justru tidak terpenuhi?

"Saya kira semua sepakat bahwa anak adalah anugerah yang besar dan menuntut tanggung jawab yang besar pula. Bagaimana jadinya anak dewasa nanti adalah buah dari pendidikan yang dialaminya. Dan rumah, adalah tempat utama mendidik anak," tulisnya. (Baca selengkapnya)

2. Menjadi Guru yang Baik untuk Anak Sendiri

Sudah sekitar satu tahun ini, kegiatan belajar dan mengajar yang berlangsung di tengah suasana pandemi ini benar-benar menjadi tantangan tersendiri bagi dunia pendidikan. Termasuk bagi para orangtua.

Peran orangtua dituntut menciptakan suasana lingkungan yang aman dan nyaman untuk belajar, memberikan semangat serta motivasi, menyediakan kebutuhan alat tulis yang diperlukan, mendampingi serta membantu anak menyelesaikan tugas pelajaran, dan bahkan sering orang tua harus benar-benar berperan sebagai guru bagi anak.

Kompasianer Try Raharjo menilai keadaan seperti ini sesungguhnya menjadi momentum yang baik untuk meningkatkan kualitas hubungan di antara anak dan orangtua.

Kendati begitu, menurutnya, bukan hal mudah bagi banyak orangtua ketika harus berperan sebagai guru bagi anaknya agar berhasil mengikuti proses kegiatan belajar dan meraih tujuan sesuai dengan yang diharapkan dalam proses pendidikan.

"Banyak orang tua tidak punya pengalaman mengajar, tidak tahu metode mengajar, tidak memiliki kesabaran yang cukup untuk membimbing anak, dan apalagi orang tua memiliki tugas dan kewajiban pekerjaan yang juga harus ditunaikan," tulisnya. (Baca selengkapnya)

3. Gapyear: Stigma, Doa, dan Cerita

Istilah gapyear biasa disematkan bagi mereka yang memilih menunda masuk kuliah untuk satu atau dua tahun.

Kompasianer Ridwan Luhur berpendapat ada banyak alasan, salah satunya dari hasil Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri.

Menurut dia, bagi sebagian orang, pengumuman ini menjadi suatu patokan untuk keputusan selanjutnya. Mereka yang belum beruntung di seleksi ini umumnya masih akan mencoba seleksi mandiri tiap perguruan tinggi negeri (PTN) ataupun berpindah ke perguruan tinggi swasta (PTS).

"Namun, ada juga yang berhenti mencoba untuk sementara. Biasanya faktor ekonomi ataupun nilai UTBK yang dirasa kurang membuat mereka memilih menjadi gapyear," tulisnya.

Lalu seperti apa suka duka dan perjuangan selama masa gapyear tersebut? (Baca selengkapnya) (IBS)

https://money.kompas.com/read/2021/06/17/230000426/-tren-humaniora-kompasiana-anak-adalah-point-of-references-gapyear--stigma-doa

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke