Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Indonesia Hasilkan 93 Juta Ton Sampah Sedotan Plastik Per Tahun, Ekonomi Sirkular Bisa Jadi Solusinya

Data KLHK, Indonesia saat ini merupakan penghasil 93 juta ton sampah sedotan plastik per tahun.  KLHK sendiri mengimbau masyarakat untuk menghindari penggunaan sedotan plastik.

"Sampah sedotan plastik itu kalau bisa jangan dipakai lagi deh, kalau disusun bisa mencakup jarak dari Jakarta sampai Meksiko," kata Rosa dalam sebuah diskusi online bertajuk "Ekonomi Sirkular: Solusi Limbah Plastik Indonesia dan Mitigasi Perubahan Iklim" Sabtu (5/3/2022).

Partisipasi masyarakat dengan memilah sampah

Rosa menyatakan persoalan sampah plastik yang tercecer di lingkungan terbuka seharusnya jadi keprihatinan semua kalangan mengingat dampaknya yang sangat besar pada perubahan iklim di level global.

Dia bilang, meski pemerintah telah berupaya keras untuk menekan pencemaran sampah plastik di lingkungan bebas, masyarakat juga seharusnya dapat berpartisipasi dengan mengadopsi pola pikir baru terkait pengelolaan sampah plastik.

"Kesadaran individu yang paling utama. Orang perlu melihat sampah sebagai tanggung jawab pribadi, bukan lagi tanggung jawab Pemerintah Daerah semata,” jelas Rosa.

Menurut Rosa, perubahan pola pikir dan perilaku dalam pengurangan sampah plastik bisa dimulai dari hal-hal kecil, semisal memilah sampah plastik rumah tangga, sedapat mungkin menggunakan kemasan air minum yang awet dan mengurangi pemakaian kantong kresek sekali pakai.

Mengapa ekonomi sirkular penting dilakukan untuk tanggulangi sampah plastik?

Ahli Teknologi Produk Plastik dari Universitas Indonesia, Prof. Dr. Mochamad Chalid menyatakan, terlepas dari banyak stigma yang dilekatkan orang, plastik pada dasarnya produk yang relatif lebih ramah lingkungan ketimbang kemasan lainnya semisal yang berbasis kertas.

Analisis Life Cycle Assessment (LCA) menunjukkan plastik lebih ramah lingkungan karena energi yang diperkukan untuk pembuatannya relatif jauh lebih sedikit dan ini juga terkait erat dengan tingkat emisi C02 dan perubahan iklim.

“Plastik sejatinya material yang "eksotik", punya banyak keunggulan dari sisi ekonomi, kepraktisan dan pemanfaatan dalam skala masal, meski juga punya kekurangan, utamanya waktu penguraian di alam yang perlu puluhan hingga ratusan tahun alias lebih panjang dari usia manusia pemakainya,” ujar dia.


Namun menurutnya, sisi negatif sampah plastik itu bukan persoalan besar andai masyarakat mengadopsi Ekonomi Sirkular. Atau dengan kata lain, sampah plastik tak lagi dibuang di penimbunan akhir sampah layaknya sampah organik rumah tangga, namun dipandang sebagai material yang bisa dimanfaatkan kembali dan punya nilai ekonomi tinggi.

"Kalau konsep Ekonomi Sirkular bisa diadopsi banyak kalangan, persoalan sampah plastik dengan mudah kita atasi bersama. Apalagi kalau penerapannya dibarengi dengan stimulus ekonomi, kesadaran publik bisa lebih cepat,” jelas Chalid.

Direktur Sustainability Development Le Minerale, Ronald Atmadja mengatakan, pihaknya mendukung gerakan Ekonomi Sirkular dengan membantu pemulung di berbagai kota mengumpulkan lebih banyak sampah plastik agar bisa diolah dan dijual kembali untuk memenuhi keperluan industri daur ulang dalam negeri.

"Program kerja sekaligus untuk mendukung target Kementerian Lingkungan Hidup mengurangi impor sampah bekas (scrap) yang saat ini mencapai 50 persen dari kebutuhan industri daur ulang," katanya.

Ronald menambahkan, saat ini orang kerap membuang sampah plastik begitu saja, digabungkan dengan sampah rumah tangga lainnya, dan dimasukkan dalam kemasan plastik yang lain.

Akibatnya, sampah plastik yang bernilai ekonomi tinggi ikut tercemar dan pada akhirnya tercecer di lingkungan semisal Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah.

"Ini sejatinya lost opportunity, mengingat sampah plastik tak bisa dikembalikan lagi ke hulu industri untuk penggunaan kembali," tambah dia.

https://money.kompas.com/read/2022/03/07/123024426/indonesia-hasilkan-93-juta-ton-sampah-sedotan-plastik-per-tahun-ekonomi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke