Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Menilik Kebijakan Larangan Ekspor Listrik

Tidak tanggung-tanggung, kapasitasnya 2200 Megawatt peak (MWp). Proyek ini direncanakan mulai dibangun tahun 2022 dan mulai beroperasi pada tahun 2024.

Sontak semua mata mengarah ke Indonesia. Hal ini menjadi bahan pembicaraan di tingkat global.

Tiga bulan kemudian, Oktober 2021, PT Medco Power Indonesia dan Konsorsium PacificLight Power Pte Ltd (PLP) dan Gallant Venture (Salim Group) menandatangani Joint Development Agreement.

Pihak-pihak ini akan bekerjasama membangun pilot project mengirim listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) 670 MWp di Pulau Bulan, Riau menuju Singapura.

Dua hari yang lalu dalam Press Briefing di World Energy Forum 2022, Davos, Swiss, Menteri Investasi Bahlil Lahadalia membuat statemen yang cukup mengejutkan.

Bahlil mengatakan bahwa Pemerintah Indonesia melarang kegiatan ekspor listrik bersih atau energi terbarukan ke luar negeri.

Alasannya Pemerintah ingin memenuhi kebutuhan energi terbarukan di dalam negeri. Khususnya kebutuhan listrik untuk industri di Pulau Batam.

Industri di Pulau Batam tampak bergeliat pascapandemi Covid-19. Untuk menjaga momentum kebangkitan industri, jaminan pasokan energi terbarukan memang wajar jadi prioritas.

Tentu tidak ada yang salah dengan kebijakan ini. Namun demikian, hal ini bisa menimbulkan ketidakpastian pada iklim dunia usaha. Ketika proyek sudah dimulai dieksekusi, tetiba muncul kebijakan baru.

Mudahnya kebijakan berubah dalam waktu singkat, bisa menimbulkan ketidakpercayaan investor.

Potensi energi terbarukan berlebih di Indonesia

Layaknya mobilitas manusia dari Jakarta ke arah Bandung dan sebaliknya yang kian hari kian tinggi dan menimbulkan macet, tidak lantas dilakukan pelarangan mobilitas manusia.

Melainkan diberikan solusi penambahan jalur baru tol layang. Dibangun jalur kereta cepat sebagai alternatif.

Mirip dengan hal ini, bagaimana jika mengekspor listrik ke luar negeri dapat dilakukan tanpa mengganggu keamanan pasokan domestik bisa dijamin?

Indonesia punya potensi energi terbarukan yang sangat besar. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mencatat terdapat potensi setara kapasitas pembangkitan listrik 3.868 Gigawatt (GW).

Terdapat potensi energi air sebesar 95 GW, potensi panas bumi sebesar 24 GW, potensi bioenergi sebesar 57 GW, potensi arus laut sebesar 60 GW, potensi angin 155 GW, dan potensi surya 3.295 GW.

Penelitian kami di Australian National University mengungkapkan bahwa hanya dari energi surya saya, bisa dibangkitkan 190.000 Terrawatthour listrik per tahun. Setara dengan kebutuhan listrik dunia pada tahun 2020.

Jika potensi energi terbarukan Indonesia pas-pasan dan tidak cukup memasok kebutuhan domestik, maka sangat tepat untuk menutup keran ekspor.

Namun demikian, potensi yang sangat besar membuat Indonesia tidak akan kekurangan. Bahkan berlebih dan memungkinkan untuk memasok negara tetangga yang membutuhkan.

Kembangkan dalam skala besar

Sebagai usulan solusi, bagaimana jika dibangun saja pembangkit energi terbarukan dalam skala besar.

Proyek energi terbarukan ini sangat erat kaitannya dengan 'economies of scale'. Sebagai contoh, pada April 2020 sebuah proyek PLTS 300 MWp di Saudi Arabia dilelang pada harga 1,6 cent USD.

Setahun kemudian, sebuah proyek PLTS 600 MWp juga di Saudi Arabia, dilelang pada harga 1 cent USD.

Semakin besar proyeknya semakin murah listrik yang dihasilkan. Harga listrik yang murah akan menguntungkan bagi masyarakat. Menambah daya saing industri penggunanya.

Dengan geliat industri di Batam, baik industri eksisting atau industri yang akan masuk kesana, penjualan listrik PLN Batam yang sebesar 2,5 TWh diasumsikan optimis meningkat 400 persen atau 4 kali lipat menjadi 10 TWh per tahun.

Ini bisa dipasok dari PLTS berkapasitas 7.500 MWp. Dengan asumsi 1 MWp per hektar, maka kapsitas ini akan membutuhkan lahan seluas 7500 hektar.

PLTS sebesar ini bisa dibangun pada area sekitar Kepulauan Riau. Baik di lahan-lahan tidak produktif, misalnya di pulau-pulau tak berpenghuni. Atau di perairan Kepulauan Riau dengan skema terapung.

Lebih jauh lagi, sistem kelistrikan Kepulauan Riau perlu diintegarasikan dengan sistem Sumatera.

Agar energi listrik dari air, panas bumi, energi surya yang besar potensinya di Sumatera akan bisa dikirim ke industri-industri di Batam. Bangun juga dalam skala besar agar kelebihannya bisa diekspor.

Pemerintah bisa saja 'memaksa' proyek energi terbarukan itu memprioritaskan komponen dari dalam negeri.

Misalkan kabel listrik, trafo, inverter, sudah dapat diproduksi secara lokal. Tenaga kerja proyek diwajibkan dari Indonesia.

Selain itu, Indonesia bisa menerapkan pajak terhadap listrik yang diekspor. Dengan demikian, semakin besar kemanfaatan proyek tersebut untuk Indonesia.

Dengan cara ini, maka kebutuhan ekspor dapat dilakukan tanpa mengabaikan kebutuhan energi bersih untuk industri dalam negeri.

Yang tidak kalah penting, iklim dunia usaha dan kepercayaan investor dapat dijaga. Hal ini juga akan memperkuat posisi Indonesia sebagai rumah energi terbarukan (renewable power house) di kawasan ASEAN.

https://money.kompas.com/read/2022/05/27/094110426/menilik-kebijakan-larangan-ekspor-listrik

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke