Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Tolak Program Bagi-bagi Kompor Listrik!

Kebijakan yang masuk dalam program utama PT PLN (Persero) itu, diyakini mampu mengatasi over supply listrik, bahkan mengurangi beban Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dikarenakan impor liquefied petroleum gas (LPG) selama ini.

Program bagi-bagi kompor listrik yang akan dilakukan kementerian BUMN itu tentunya mengagetkan, di tengah upaya efisiensi anggaran APBN yang dilakukan pemerintah.

Di mana per 3 September lalu, pemerintah harus mengumumkan kenaikan harga BBM, demi menekan anggaran subsidi dan kompensasi BBM tahun 2022 yang telah meningkat tiga kali lipat menjadi Rp 502,4 triliun.

Bahwa Fraksi PDI Perjuangan memahami keputusan pahit pemerintah dalam menaikan harga BBM. Mengingat, uang negara harus diprioritaskan untuk memberikan subsidi kepada masyarakat kurang mampu.

Sehingga sebagian subsidi BBM dialihkan untuk bantuan yang lebih tepat sasaran, seperti Bantuan langsung tunai, BLT BBM sebesar Rp 12,4 triliun yang diberikan kepada 20,65 juta keluarga kurang mampu selama 4 bulan.

Kami bersedia pasang badan, di tengah banyaknya protes menentang kenaikan harga BBM itu. Namun, kami di sisi lain meminta pemerintah juga harus konsisten untuk melakukan langkah efisiensi dalam penggunaan anggaran.

Jangan di satu sisi pemerintah menaikan harga BBM demi alasan melakukan efisiensi, namun di sisi lain pemerintah malah “menghamburkan” uang yang tidak sedikit pada program bagi-bagi kompor listrik.

Padahal dana sebesar Rp 5 triliun itu akan lebih bermanfaat saat ini untuk menambah anggaran kompensasi bagi masyarakat kurang mampu, demi mengamankan daya beli mereka, akibat naiknya harga BBM.

Sarat masalah

Selain masalah efisiensi anggaran yang harus diperhatikan, setidaknya masih banyak masalah yang harus dihadapi pemerintah sebelum menjalankan program bagi-bagi kompor listrik itu, antara lain:

Pertama, pasokan Domestic market Obligation (DMO) batubara yang belum terpenuhi bagi PLN.

Seperti kita ketahui bahwa DMO batubara untuk kepentingan pembangkit listrik PLN masih belum terpenuhi.

Hal ini karena masih banyaknya perusahaan tambang yang tidak memenuhi komitmen pasokan kebutuhan dalam negeri itu.

Dengan kondisi demikian, maka setiap saat Indonesia bisa terancam krisis listrik. Sehingga penggunaan kompor yang bersandar pada energi listrik, belum begitu aman dari ancaman krisis listrik.

Kedua, kompor listrik bukan solusi jangka panjang. Seperti kita ketahui, bahwa pengalihan subsidi gas yang membebani negara, bukan hanya persoalan kompor listrik saja.

Namun dalam hal ini harus dicarikan solusi jangka panjang. Seperti dengan jalan pengembangan Dimethy Ether (DME) yang pernah dibahas komisi VII dengan PT BA sebelumnya.

Di mana saat itu, Komisi VII DPR RI mendorong pengembangan Dimethyl Ether (DME) sebagai alternatif subtitusi atau pengganti Liquified Petroleum Gas (LPG) untuk memenuhi energi rumah tangga.

Langkah strategis ini diyakini bisa menekan impor LPG (elpiji) dan membantu anggaran negara untuk mengurangi subdisi terhadap LPG.

Ketiga, program kompor listirk berpotensi membebani masyarakat kurang mampu. Rencana bagi-bagi kompor listrik kepada pelanggan listrik 450 VA dan 900 VA akan berpotensi membebani mereka, karena setelah beralih kepada kompor listrik, otomatis tagihan listrik rumah tangga berpotensi naik.

Selain itu, kemungkinan mereka juga harus migrasi ke daya listrik lebih besar, sebab untuk menggunakan kompor induksi, memerlukan daya listrik yang relatif besar.

Sementara pengguna LPG 3 kg umumnya adalah kelas menengah bawah dan miskin. Mereka adalah pelanggan listrik rumah tangga 450 VA atau 900 VA yang disubsidi.

Kalangan masyarakat kurang mampu itu juga tentunya harus mengganti peralatan memasak mereka, dengan peralatan yang sesuai dengan kompor listrik.

Dengan potensi memberatkan itu, jangan sampai, nantinya kompor listrik yang dibagikan kepada masyarakat tidak mampu, tapi malah tidak digunakan. Akhirnya program ini menjadi gagal, dan hanya buang-buang anggaran pemerintah saja.

Kita memahami, bahwa Pemerintah selama ini memang berkewajiban memberikan subsidi harga LPG bagi masyarakat yang kurang mampu, dengan besaran pengeluaran yang semakin meningkat, dan berpotensi menekan APBN.

Ditambah lagi adanya impor LPG yang tercatat berada di angka 77 persen.

Namun upaya pemerintah menekan subsidi LPG dengan mengalihkan penggunaan LPG ke energi berbasis listrik, dengan bagi-bagi kompor listrik, bukanlah solusi.

Pemerintah sebaiknya memperbaiki sumber masalah dengan memastikan subsidi LPG 3 kg benar-benar tepat sasaran untuk masyarakat miskin dan tidak mampu.

Dengan melihat berbagai pertimbangan di atas, maka kami berkesimpulan bahwa program bagi-bagi kompor listrik tersebut, untuk saat ini tidaklah tepat, bahkan bisa mengarah pada pemborosan anggaran negara, di tengah efisiensi APBN yang hendak dicapai pemerintah.

Maka kebijakan itu harus segera dihentikan, dan proses penganggarannya pun harus ditolak.

Anggaran program bagi-bagi kompor listrik sebesar Rp 5 triliun yang setara dengan anggaran Kementerian ESDM selama satu tahun itu, lebih baik dialihkan untuk biaya subsidi listrik bagi masyarakat kurang mampu.

Dengan demikian, negara akan lebih bisa memaksimalkan anggarannya untuk kebaikan rakyat.

https://money.kompas.com/read/2022/09/07/135344526/tolak-program-bagi-bagi-kompor-listrik

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke